Sabtu, 26 Mei 2018

Tik Tok Hendak Menghentak Generasi


Sedang ramai perbincangan soal Tik Tok di media sosial pekan ini, entah karena aplikasi tersebut yang menyediakan kualitas bagi penggunanya atau entah terbius dalam kebosanan sehingga menjadi alternatif pekerjaan. Tetapi pastinya, ada bagian lain yang harus dikaji secara holistik mengapa Tik-Tok ini membooming khususnya dalam kalang pemuda dan pemudi.

Tik Tok sendiri menurut trendtek.Replubika.co.id adalah aplikasi video musik dan jejaring sosial asal Cina, yang dimana Tik Tok menjadikan ponsel pengguna sebagai studio berjalan. Aplikasi ini menghadirkan special effects yang menarik dan mudah digunakan sehingga semua orang bisa menciptakan sebuah video yang keren dengan mudah. Tik Tok memungkinkan pengguna untuk secara cepat dan mudah membuat video-video pendek yang unik untuk kemudian dibagikan ke teman-teman dan dunia. Memberdayakan pemikiran-pemikiran yang kreatif sebagai bentuk revolusi konten, menjadikan aplikasi ini sebagai sebuah wujud tolok ukur baru dalam berkreasi bagi para online content creators di seluruh dunia, terutama Indonesia.

Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=rCy1oYhIMFI
Melihat penjelasan di atas, kita sudah sepatutnya memberikan sebuah apresiasi bahwa aplikasi tersebut secara tidak langsung membantu para individu untuk keratif dibidang musik. Selain itu mereka yang keterbatasan dalam dana untuk bergaya di depan kamera, mampu mewujudkan keinginannya seperti artis hanya lewat aplikasi Tik Tok. Namun dibalik kemudahan yang telah dijelaskan, ada saja hal yang mempengaruhi individu untuk merasa bahwa aplikasi tersebut adalah virus kebutuhan bagi manusia. Terlebih untuk orang Indonesia yang dimana secara subjektif penulis berargument bahwasanya mentalitas kita terhadap teknologi masih sangat diragukan, hal ini didindikasikan dari ragamnya blunder dalam penggunan media sosial yang dilakukan oleh masyarakat awam. Seperti menulis status pribadi yang sifatnya sangat rahasia atau bentuk kemesran yang sering dipamerkan di depan layar gadget anda semua. Lalu apakah Tik Tok melakukan blunder yang sama ?, dan ternyata memang sesuai dengan perkiraan bahwa aktualisasi atau pembaharuan atau-pun hitsnya sebuah aplikasi akan berdampak seperti pisau. Disini secara khusus mereka para pengguna Tik Tok diibaratkan sebagai pengguna pisau yang disfungsional, dimana mereka tidak menggunakan pisau tersebut untuk memotong bahan makanan akan tetapi untuk memotong jarinya sendiri. Jika kita artikan bahwa pengunaan Tik Tok tidak membuat mereka lebih baik dari pada artis tetapi malah  menjadikan generasi mereka hancur dengan ketidakmampuan untuk merasionalkan dan mengoperasionalkan diri mereka terhadap teknologi atau sering dibilang oleh anak sekarang itu adalah alay.

Mengkaji secara sosiologis, fenomena Tik Tok bukan hal baru dalam gejala sosial di masyarakat. Sebelum itu, banyak aplikasi yang timpang secara budaya sehingga kemampuan kontrol diri mereka lebih lambat dari pada kemampuan teknologinya. Tetapi penulis melihat sudut pandang lain perihal boomingnya aplikasi ini, tak lain sebagai saluran eksistensi diri atau komunikasi terhadap khalayak umum bahawa mereka bisa seperti artis dengan bergaya, berdansa, dan bernyanyi. Rodgers & Thompson dalam karyanya yaitu cara mempelajarai eksistensi  memaparkan bahawa akar atau dasar eksistensi sendiri bermula pada pandangan bahwa manusia selalu hidup dalam bahaya yang tidak pernah lepas dari kecemasan, ketakutan, dan fakta akan kematian. Kondisi-kondisi itulah yang mendorong manusia merealisasikan kemungkian-kemungkinan yang ada dalam rangka mencapai kehidupan yang bermakna. Maka jika kita sadari bahwa apa yang telah dilakukan para pengguna Tik Tok adalah sarana memaknai kebosanan akibat tekanan sosial. Mereka membentuk pemikiran untuk menghalau kecemasan mereka dengan cara mengkontruksi diri ke dalam sebuah zona dimana individu dapat diakui walaupun hal tersebut oversimpilifikasi. 

Pandangan yang tak terbuka lebar akibat dari aplikasi tersebut jika dibiarkan maka akan menjadi penyimpangan sosial yang diwajarkan oleh sebagian masyarakat. Anggap saja-lah mereka bersenang-senang ditengah kepenatan sekolah atau-pun pekerjaan, bisa juga ini merupakan trend masa kini yang nanti juga ada masa uzurnya merupakan sebuah kalimat yang dimaksud penulis sebagai penyimpangan sosial yang diwajarkan. Sehingga pendapat-pendapat yang serupa dengan kalimat tersebut menjamur dan mereplika penafsiranya ke tiap individu. Akibatnya tak jarang ketika kita menasehati yang terjadi malah sebuah pemherontakan sekelompok generasi. Lucunya, kepekaan para vendor dalam memanfaatkan kesempatan bisnis membuat aplikasi ini tak main-main pemasaranya, dengan embel-embel kesenangan dan didukung dengan kemudahan akses maka hal ini melengkapi hentakan pada generasi muda bahwa kita dalam darurat pejajahan aplikasi perusak mental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar