Rabu, 02 Mei 2018

Evaluasi Hari Pendidikan Nasional Dari Rakyat


Kita tidak bisa mengesampingkan peran Ki Hajar Dewantara yang telah membuat grand design pendidikan di Indonesia, oleh sebab itu sebagai bentuk apresiasi atas jasanya pada setiap tanggal 2 Mei diperingatilah Hari Pendidikan Nasional. Dalam bentuk ceremony Hari Pendidikan Nasional atau HARDIKNAS selama bertahun-tahun mampu membendung hasrat para pendidik Indonesia untuk melakukan evaluasi besar-besaran terhadap dunia pendidikan Indonesia, namun jika berbicara konteks implementasi maka tujuan yang didambakan tertinggal jauh dengan apa yang dirayakan oleh masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi mandeknya pendidikan di Indonesia, kalau-pun harus disebutkan kompleksitasnya cukup mengkhawatirkan. Sederhananya, ragam aktor yang memainkan peran pendidikan tidak sesuai dengan posisinya dan berdampak pada ketimpangan dalam menjalakan implementasi di lapangan.


Sumber : 1CAK.COM
Dalam presepsi para pendidik, keseriusan memperjuangkan pendidikan yang lebih baik sudah terlihat dari munculnya guru muda yang inspiratif dan inovatif. Hanya saja, jika menilik realitas yang terjadi di setiap lembaga yang berbasis pendidikan maka tak jarang gerakan inovatif ini terbentur oleh aturan konvesional. Perlu diakui bahwasanya apa yang dicetus oleh Ki Hajar Deantara membutuhkan gerakan aktualisasi, terutama dari segi struktural. Dalam hal ini, bukan maksud penulis merasa memiliki kemampuan lebih dalam memenjerial pendidikan. Hanya saja sebagai masyarakat, gerakan inovatif baru dirasa hanya terpaku dalam tataran pengembangan teknologi benda bukan pemikiran. Sebagai salah satu contoh, kita dapat melihat keputusan Menteri Pendidikan mengenai Rencana Pelaksanaan Pembeajaran ( RPP ) yang harus sesuai dengan abad 21, dimana konsesntrasi yang diberlakukan tidak menyentuh bagaimana manusianya melakukan hal tersebut. Secara explisit hal ini menurut para sosiolog adalah keadaan dimana masyarakat mengalami Culture Lag atau ketimpangan budaya. Sehingga dalam pandangan W.F. Ogburn bahwa pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya secara keseluruhan, ada bagian yang tumbuh dengan lambat. Analisanya yiatu, RPP abad 21 yang kita anggap sebagai budaya materil tertinggal jauh dengan budaya non-materialnya dan budaya itu adalah pemikiran para pelaksana RPP tersebut. Namun, dilihat dari bagian yang lain sudah jelas bahwa secara pribadi kita bisa memahami pendidikan dari level analisa yang dipaparkan di atas. Membutuhkan kajian mendalam tentang pelurusn pendidikan, sehingga hasil yang didapatkan-pun terverifikatif.

Selanjutnya, bagian yang harus diperhatikan adalah dampak yang terjadi. Terdapat penurunan kualitas terutama disektor karakter pendidikan, sejujurnya sudah dicanang oleh Presiden pertama Sokarno mengenai pembangunan karakter bangsa. Hanya kembali pada point awal kita, bahwa pendidikan tersebut terlalu sibuk menggodok sisi adminitratif dan cara mengembangkan pendidik yang normatif, sehingga masyarakat tak paham cara menggunakan administrasi tersebut sebagai senjata pembangunan karakter pemuda. Alhasil, pemusatan struktural kita akan terus berputar pada lingkaran pembenahan retorika di dalam administrasi tersebut. 

Pada akhirnya pembangunan pendidikan di Hari Pendidikan Nasional yang dirasa oleh siswa-siswi nusantara hanya-lah utopia pendidikan. Semua tergantung pada pilihan para pragmatisme yang sesuai dengan pandangan nilai konservatif. Tetapi, bukan berati sisi kelam yang dilihat tak akan menimbulkan sebuah lentera baru di dunia pendidikan. Hal tersebut akan terjadi jika kita berani membentuk sebuah hegemoni baru dalam pendidikan, tanpa sebuah intrik politik dan pesanan politik kepada para aktor pendidik. Maka insyallah, kebangkitan peradaban Indonesia akan maju dalam segala sektor andai buah pemikiran anak-anak yang cerdas di negeri ini dapat kita selamatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar