Kita
tidak bisa mengesampingkan peran Ki Hajar Dewantara yang telah membuat grand
design pendidikan di Indonesia, oleh sebab itu sebagai bentuk apresiasi atas
jasanya pada setiap tanggal 2 Mei diperingatilah Hari Pendidikan Nasional.
Dalam bentuk ceremony Hari Pendidikan Nasional atau HARDIKNAS selama
bertahun-tahun mampu membendung hasrat para pendidik Indonesia untuk melakukan
evaluasi besar-besaran terhadap dunia pendidikan Indonesia, namun jika
berbicara konteks implementasi maka tujuan yang didambakan tertinggal jauh
dengan apa yang dirayakan oleh masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi
mandeknya pendidikan di Indonesia, kalau-pun harus disebutkan kompleksitasnya
cukup mengkhawatirkan. Sederhananya, ragam aktor yang memainkan peran
pendidikan tidak sesuai dengan posisinya dan berdampak pada ketimpangan dalam
menjalakan implementasi di lapangan.
Sumber : 1CAK.COM
Dalam
presepsi para pendidik, keseriusan memperjuangkan pendidikan yang lebih baik
sudah terlihat dari munculnya guru muda yang inspiratif dan inovatif. Hanya
saja, jika menilik realitas yang terjadi di setiap lembaga yang berbasis
pendidikan maka tak jarang gerakan inovatif ini terbentur oleh aturan
konvesional. Perlu diakui bahwasanya apa yang dicetus oleh Ki Hajar Deantara
membutuhkan gerakan aktualisasi, terutama dari segi struktural. Dalam hal ini,
bukan maksud penulis merasa memiliki kemampuan lebih dalam memenjerial
pendidikan. Hanya saja sebagai masyarakat, gerakan inovatif baru dirasa hanya
terpaku dalam tataran pengembangan teknologi benda bukan pemikiran. Sebagai
salah satu contoh, kita dapat melihat keputusan Menteri Pendidikan mengenai
Rencana Pelaksanaan Pembeajaran ( RPP ) yang harus sesuai dengan abad 21,
dimana konsesntrasi yang diberlakukan tidak menyentuh bagaimana manusianya
melakukan hal tersebut. Secara explisit hal ini menurut para sosiolog adalah
keadaan dimana masyarakat mengalami Culture
Lag atau ketimpangan budaya. Sehingga dalam pandangan W.F. Ogburn bahwa
pertumbuhan kebudayaan tidak selalu sama cepatnya secara keseluruhan, ada
bagian yang tumbuh dengan lambat. Analisanya yiatu, RPP abad 21 yang kita
anggap sebagai budaya materil tertinggal jauh dengan budaya non-materialnya dan
budaya itu adalah pemikiran para pelaksana RPP tersebut. Namun, dilihat dari
bagian yang lain sudah jelas bahwa secara pribadi kita bisa memahami pendidikan
dari level analisa yang dipaparkan di atas. Membutuhkan kajian mendalam tentang
pelurusn pendidikan, sehingga hasil yang didapatkan-pun terverifikatif.
Selanjutnya,
bagian yang harus diperhatikan adalah dampak yang terjadi. Terdapat penurunan
kualitas terutama disektor karakter pendidikan, sejujurnya sudah dicanang oleh
Presiden pertama Sokarno mengenai pembangunan karakter bangsa. Hanya kembali
pada point awal kita, bahwa pendidikan tersebut terlalu sibuk menggodok sisi
adminitratif dan cara mengembangkan pendidik yang normatif, sehingga masyarakat
tak paham cara menggunakan administrasi tersebut sebagai senjata pembangunan
karakter pemuda. Alhasil, pemusatan struktural kita akan terus berputar pada
lingkaran pembenahan retorika di dalam administrasi tersebut.
Pada
akhirnya pembangunan pendidikan di Hari Pendidikan Nasional yang dirasa oleh
siswa-siswi nusantara hanya-lah utopia pendidikan. Semua tergantung pada
pilihan para pragmatisme yang sesuai dengan pandangan nilai konservatif.
Tetapi, bukan berati sisi kelam yang dilihat tak akan menimbulkan sebuah
lentera baru di dunia pendidikan. Hal tersebut akan terjadi jika kita berani
membentuk sebuah hegemoni baru dalam pendidikan, tanpa sebuah intrik politik
dan pesanan politik kepada para aktor pendidik. Maka insyallah, kebangkitan
peradaban Indonesia akan maju dalam segala sektor andai buah pemikiran
anak-anak yang cerdas di negeri ini dapat kita selamatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar