Minggu, 01 Juli 2018

Dari Bowo, Trend, Hingga Berhala Baru


Kemunculan seorang anak muda bernama Prabowo atau Bowo sebagai penghuni media sosial telah membukakan mata, bahwa sesungguhnya kita berada diambang keganasan akhir zaman. Seorang bocah berumur 13 tahun tiba-tiba menghentak antar lintas generasi dengan kelakuan yang tak berfaedah bagi generasinya. Dengan gaya sok dewasa, lalu merasa keren dia berlenggak-lenggok dalam sebuah aplikasi yang sejatinya membunuh karakter dan perilaku humanis masyarakat di era global. 

Sayang kontrol sosial yang terbentuk malah menjadi garis darmakasi antara menghukum dan semena-mena, akibatnya adalah pro-kontra bukan lagi berbicara soal penafsiran cara membimbing namun beralih bagaimana cara merusak, mencaci, membunuh si pelaku sampai akhirnya dia mati. Kesalahan membiarkan, mewajarkan, bahkan mencotohkan anak dalam memegang teknologi berdampak pada kesemena-menaan mereka. Maka tak jarang banyak indinvidu atau kelompok yang tercipta untuk merasa benar tanpa diimbangi ilmu yang sudah jelas benar, ini dilihat dari komentar yang tertera pada akun Instagram Bowo dimana hiruk pikuk cacian dan argument tanpa landasan ditumpuk menjadi satu paket kezaliman. Sehingga terciptalah rumus baru jika kita melihat kasus sepert ini yaitu bodoh+dungu adalah kepintaran hakiki menurut mereka.

Memang di sisi lain sanksi sosial dalam mengedalikan degradasi moral lewat bullying agar si pelaku jera harus diberlakukan supaya tak muncul Bowo-Bowo yang lain, namun seperti yang dikatakan oleh penulis dengan memberi kesempatan orang bodoh berargument tak lantas menyelasaikan sebuah kasus. Malah pihak yang tersakiti akan merasa bahwa tindak-tanduknya adalah sesuatu yang tidak salah, lalu tak segan karena konsep kaca mata kudanya mereka menyerang siapapun yang tak sepaham. Hal ini terlihat ketika kritik masuk kepada Prabowo, dimana para pendukungnya secara spontan membentuk  barisan proteksi kebenaran yang salah, kemudian langkah mereka selanjutnya yaitu melancarkan sebuah argumentasi bahwasanya kita adalahsubjek yang tersakiti karena perilaku kontra netizen memborbardir idolanya. Maka para kaum “labil” yang notabenanya belum mampu mengendalikan mentalitasnya langsung tergiring pada situasi harus bersimpati dengan keadaan yang salah. 

Dampak terbesarnya yaitu menuhankan Bowo sebagai kekuatan manunggal para idola, liarnya lagi mereka menciptakan Rasul dan ummatnya sendiri. Jelas ini bukan sekedar degradasi, ini peruntuhan akal kepada suatu kaum dengan cara mengaca-acak konsep ketuhanan. Gilanya hal ini diberlakukan oleh sekumpulan bocah, sehingga jika menilik garis merah maka ada yang salah dengan kemampuan orang tua mengontrol generasinya secara penuh. Disamping itu, kejelasan regulasi pemerintah dalam menetapkan arus informasi seakan diperlente dengan bahasan yang tak begitu penting, oleh karena itu kedua akar masalah ini membentuk kegamangan antar pihak dalam menemukan solusi yang paling tepat tanpa harus mendahulukan bullying kepada si korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar