Kemunculan
seorang anak muda bernama Prabowo atau Bowo sebagai penghuni media sosial telah
membukakan mata, bahwa sesungguhnya kita berada diambang keganasan akhir zaman.
Seorang bocah berumur 13 tahun tiba-tiba menghentak antar lintas generasi dengan
kelakuan yang tak berfaedah bagi generasinya. Dengan gaya sok dewasa, lalu
merasa keren dia berlenggak-lenggok dalam sebuah aplikasi yang sejatinya
membunuh karakter dan perilaku humanis masyarakat di era global.
Sayang
kontrol sosial yang terbentuk malah menjadi garis darmakasi antara menghukum
dan semena-mena, akibatnya adalah pro-kontra bukan lagi berbicara soal
penafsiran cara membimbing namun beralih bagaimana cara merusak, mencaci,
membunuh si pelaku sampai akhirnya dia mati. Kesalahan membiarkan, mewajarkan,
bahkan mencotohkan anak dalam memegang teknologi berdampak pada kesemena-menaan
mereka. Maka tak jarang banyak indinvidu atau kelompok yang tercipta untuk
merasa benar tanpa diimbangi ilmu yang sudah jelas benar, ini dilihat dari
komentar yang tertera pada akun Instagram Bowo dimana hiruk pikuk cacian dan
argument tanpa landasan ditumpuk menjadi satu paket kezaliman. Sehingga
terciptalah rumus baru jika kita melihat kasus sepert ini yaitu bodoh+dungu
adalah kepintaran hakiki menurut mereka.
Memang
di sisi lain sanksi sosial dalam mengedalikan degradasi moral lewat bullying
agar si pelaku jera harus diberlakukan supaya tak muncul Bowo-Bowo yang lain,
namun seperti yang dikatakan oleh penulis dengan memberi kesempatan orang bodoh
berargument tak lantas menyelasaikan sebuah kasus. Malah pihak yang tersakiti
akan merasa bahwa tindak-tanduknya adalah sesuatu yang tidak salah, lalu tak
segan karena konsep kaca mata kudanya mereka menyerang siapapun yang tak
sepaham. Hal ini terlihat ketika kritik masuk kepada Prabowo, dimana para
pendukungnya secara spontan membentuk
barisan proteksi kebenaran yang salah, kemudian langkah mereka
selanjutnya yaitu melancarkan sebuah argumentasi bahwasanya kita adalahsubjek
yang tersakiti karena perilaku kontra netizen memborbardir idolanya. Maka para
kaum “labil” yang notabenanya belum mampu mengendalikan mentalitasnya langsung
tergiring pada situasi harus bersimpati dengan keadaan yang salah.
Dampak
terbesarnya yaitu menuhankan Bowo sebagai kekuatan manunggal para idola,
liarnya lagi mereka menciptakan Rasul dan ummatnya sendiri. Jelas ini bukan
sekedar degradasi, ini peruntuhan akal kepada suatu kaum dengan cara
mengaca-acak konsep ketuhanan. Gilanya hal ini diberlakukan oleh sekumpulan bocah,
sehingga jika menilik garis merah maka ada yang salah dengan kemampuan orang
tua mengontrol generasinya secara penuh. Disamping itu, kejelasan regulasi
pemerintah dalam menetapkan arus informasi seakan diperlente dengan bahasan
yang tak begitu penting, oleh karena itu kedua akar masalah ini membentuk
kegamangan antar pihak dalam menemukan solusi yang paling tepat tanpa harus
mendahulukan bullying kepada si korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar