Sungguh
dengan berjalanya sang waktu, maka banyak hal yang berubah. Mulai dari
kebutuhan primer hingga yang sekunder menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Maka disetiap perubahan pastilah ada watak yang menyimpang dari harapan
masyarakat, tak sesuai dengan kaidah yang seharusnya, atau bahkan merusak
tatanan sosial yang menjadi pedoman semua orang. Ragam konsekuensi dari sebuah
perubahan memang harus disikapi dengan bijak, kita tidak bisa menutup diri
seperti orang-orang konvensional. Karena sudah menjadi qodrat illahi bahwasanya
manusia adalah mahluk yang terus bergenerasi dan memerlukan perkembangan. Hal
ini didasari oleh kebutuhan untuk
pemenuhan hidup, lalu mempermudah penggunaan kebutuhan sehari-hari.
Sebagai contoh, saat uang emas sulit untuk dimodifikasi, maka seorang Yahudi
mengganti sistem menjadi lebaran kertas supaya aksesbillitas perekonomian mudah
untuk diamankan dan diubah kembali. Tak ayal, masyarakat berbondong-bondong
menukarkan kepingan emas dengan lembaran kertas sebagai pengganti nilai tukar
tanpa berfikir panjang, adapun terjadi ragam pergolakan solusi tetap menjalakan
ketetapan perubahan harus dilaksanakan karena pemenang memenangkan game-nya.
Walaupun
sudah berubah, kesempatan seseorang untuk melakukan penyimpangan diri karena
perubahan tersebut sangatlah terbuka lebar. Mengapa demikian ?, karena sistem
perubahan boleh jadi tidak terbentuk dengan obat penawarnya. Seperti halnya
media sosia, di samping kebutuhannya yang bermanfaat bagi masyarakat luas,
namun untuk beberapa sesi keadaannya seakan menjadi ajang penyimpangan terbesar
bagi ummat manusia hari ini. Sebabnya tak lain adalah kemudahan aksesbillitas
pengguna, kecepatan fasilitas yang diberdayakan, lalu terjangkaunya situasi untuk
berbuat hal-hal berbau negatif.
Membentuk iklim yang harus diwajarkan oleh
masyarakat, karena ketidaktahuan atau pemobodohan. Dasar pemikirannya bisa kita
tarik dari kegamangan saat menghadapi situasi sulit untuk berkomunikasi secara
langsung dijarak yang jauh, lalu terbantu dengan sebuah media canggih,
ketidaksiapan menggunakan media tersebut secara mental, kesempatan membenturkan
dengan konten yang nyeleneh membuat keadaan ini adalah sebuah inovasi, dan yang
terakhir adalah ketidakmampuan tiap individu menampung ragamnya konten yang
masuk ke dalam otak. Akibatnya adalah
penyisipan video atau gambar yang membuat semua orang merasa ini adalah bentuk
“refreshing” dikala penat bukan lagi berbicara soal tidak tahu, tetapi soal
kebodahan masal menganggap kasus itu adalah budaya baru.
Mungkin
terbesitnya ucapan “lo nakal boleh, tapi goblok jangan” adalah representatif
dari buah-buah pembodohan sekelompok pihak agar kita tergelimang dalam jiwa dan
ahlak yang terpisah dikala sedang hancurnya pendidikan karakter yang
direkontruksi. Sehingga muncul generasi asa adalah lara yang tak kunjung
mendamba , dan memang kita tak bisa bandingkan perubahan seperti ini dengan analogi
( contoh ) yang diungkapkan oleh penulis di paragraf pertama. Hanya dalam skema
tak terberdalil jelas disini ada hegemoni dan ragam bentuk gejala sosial yang sudah
tertebak apa visi dan misi mereka, kemudian tak segan cara ini membentuk kita (
termasuk penulis ) terjebak dalam lingkaran pemikiran yang terkotak-kotak
antara haq dan bathil. Olehnya perlu diakui dalam permainan ini sebuah ungkapan
yang seperti telah disampaikan adalah implementasi dari setiap langkah yang
beresiko kepada diri kita agar berhati-hati menjadi manusia “maya”, tidak
halnya dengan topik yang dibicarakan pekan-pekan sekarang, untuk kedepanpun
tetap beresiko bilamana anda atau penulis menanggapi fenomena sama seperti cara
fikir mainstrem. Wallahu a’lam bish-shawabi
Oleh : Rizal Ahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar