Sabtu, 07 Juli 2018

“Nakal Boleh, Goblok Jangan” ; Ungkapan Di Era Milenia


Sungguh dengan berjalanya sang waktu, maka banyak hal yang berubah. Mulai dari kebutuhan primer hingga yang sekunder menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Maka disetiap perubahan pastilah ada watak yang menyimpang dari harapan masyarakat, tak sesuai dengan kaidah yang seharusnya, atau bahkan merusak tatanan sosial yang menjadi pedoman semua orang. Ragam konsekuensi dari sebuah perubahan memang harus disikapi dengan bijak, kita tidak bisa menutup diri seperti orang-orang konvensional. Karena sudah menjadi qodrat illahi bahwasanya manusia adalah mahluk yang terus bergenerasi dan memerlukan perkembangan. Hal ini didasari oleh kebutuhan untuk  pemenuhan hidup, lalu mempermudah penggunaan kebutuhan sehari-hari. Sebagai contoh, saat uang emas sulit untuk dimodifikasi, maka seorang Yahudi mengganti sistem menjadi lebaran kertas supaya aksesbillitas perekonomian mudah untuk diamankan dan diubah kembali. Tak ayal, masyarakat berbondong-bondong menukarkan kepingan emas dengan lembaran kertas sebagai pengganti nilai tukar tanpa berfikir panjang, adapun terjadi ragam pergolakan solusi tetap menjalakan ketetapan perubahan harus dilaksanakan karena pemenang memenangkan game-nya. 

Walaupun sudah berubah, kesempatan seseorang untuk melakukan penyimpangan diri karena perubahan tersebut sangatlah terbuka lebar. Mengapa demikian ?, karena sistem perubahan boleh jadi tidak terbentuk dengan obat penawarnya. Seperti halnya media sosia, di samping kebutuhannya yang bermanfaat bagi masyarakat luas, namun untuk beberapa sesi keadaannya seakan menjadi ajang penyimpangan terbesar bagi ummat manusia hari ini. Sebabnya tak lain adalah kemudahan aksesbillitas pengguna, kecepatan fasilitas yang diberdayakan, lalu terjangkaunya situasi untuk berbuat hal-hal berbau negatif.

 Membentuk iklim yang harus diwajarkan oleh masyarakat, karena ketidaktahuan atau pemobodohan. Dasar pemikirannya bisa kita tarik dari kegamangan saat menghadapi situasi sulit untuk berkomunikasi secara langsung dijarak yang jauh, lalu terbantu dengan sebuah media canggih, ketidaksiapan menggunakan media tersebut secara mental, kesempatan membenturkan dengan konten yang nyeleneh membuat keadaan ini adalah sebuah inovasi, dan yang terakhir adalah ketidakmampuan tiap individu menampung ragamnya konten yang masuk ke dalam otak.  Akibatnya adalah penyisipan video atau gambar yang membuat semua orang merasa ini adalah bentuk “refreshing” dikala penat bukan lagi berbicara soal tidak tahu, tetapi soal kebodahan masal menganggap kasus itu adalah budaya baru. 

Mungkin terbesitnya ucapan “lo nakal boleh, tapi goblok jangan” adalah representatif dari buah-buah pembodohan sekelompok pihak agar kita tergelimang dalam jiwa dan ahlak yang terpisah dikala sedang hancurnya pendidikan karakter yang direkontruksi. Sehingga muncul generasi asa adalah lara yang tak kunjung mendamba , dan memang kita tak bisa bandingkan perubahan seperti ini dengan analogi ( contoh ) yang diungkapkan oleh penulis di paragraf pertama. Hanya dalam skema tak terberdalil jelas disini ada hegemoni dan ragam bentuk gejala sosial yang sudah tertebak apa visi dan misi mereka, kemudian tak segan cara ini membentuk kita ( termasuk penulis ) terjebak dalam lingkaran pemikiran yang terkotak-kotak antara haq dan bathil. Olehnya perlu diakui dalam permainan ini sebuah ungkapan yang seperti telah disampaikan adalah implementasi dari setiap langkah yang beresiko kepada diri kita agar berhati-hati menjadi manusia “maya”, tidak halnya dengan topik yang dibicarakan pekan-pekan sekarang, untuk kedepanpun tetap beresiko bilamana anda atau penulis menanggapi fenomena sama seperti cara fikir mainstrem. Wallahu a’lam bish-shawabi

Oleh : Rizal Ahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar