Redaksi – Sabtu,
29 Syawwal 1439 H / 14 Juli 2018 09:30 WIB
Eramuslim.com –
Saya sarankan kepada para penggagas dan pendukung konsep Islam Nusantara
(Lamtara) supaya tidak serba tanggung kalau mau membuat “agama baru”. Jangan
sebatas anti-Arab, anti-janggut, anti-jubah, anti-sorban, anti-istilah (bahasa)
Arab, dlsb. Buatlah Islam Nusantara yang “kaffah”. Yang sempurna. Sama sekali
tidak ada unsur Arab-nya.Harus betul-betul lepas dari kearaban. Barulah bisa
disebut Islam Nusantara atau Lamtara. Termasuk jangan pakai Nabi Muhammad SAW.
Sebab, Baginda yang dielu-elukan oleh kaum muslimin ini dan juga dimuliakan
oleh Allah SWT itu, adalah orang Arab. Beliau berbahasa Arab. Berjubah dan
bersorban. Jadi, kalau mau menciptakan “agama baru”, jangan tanggung-tanggung.
Anda perlu sosok “nabi” sendiri, kitab sendiri, tata cara ibadah sendiri, semua
sendiri. Supaya asli betul sebagai Islam Nusantara. Jangan ikut Nabi Muhammad
lagi karena begitu disebut “Nabi Muhammad”, pasti orang akan ingat dengan
“Islam” saja. Nabi Muhammad tidak diutus untuk menyampaikan konsep “Islam Nusantara”.
Mengapa? Karena sejak awal kenabian beliau, Muhammad hanya menggunakan kata
“islam” untuk sebutan agama yang diridhoi Allah. Sekali lagi, Baginda diutus
untuk “Islam” bukan untuk “Islam Nusantara”.
Dengan demikian,
mutlak Anda perlu memunculkan Nabi Nusantara. Dan Anda perlu cepat
mendeklarasikan Nabi Nusantara agar bisa segera disosialisasikan. Kemudian sang
Nabi Nusantara itu haruslah mampu membuat “kitab suci Lamtara”. Sebab, kalau
masih menggunakan al-Quran sebagai pedoman, maka menjadi batallah kenusantaraan
Islam Nusantara yang Anda inginkan. Kalau para pengikut Lamtara masih
bernabikan Muhammad SAW, sangatlah aneh. Berarti nanti “terpaksa” mengikuti
arahan orang Arab. Bukankah Nabi Muhammad ada meninggalkan hadits? Nah,
hadits-hadits dari Baginda itu diriwayatkan oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa
Arab. Kemudian, buku-buku tentang hadits banyak pula ditulis oleh orang Arab.
Kitab-kitab karangan para ulama besar, semua dalam bahasa Arab. Begitu juga
kitab suci Islam, al-Quran, juga tak cocok untuk kenusantaraan Islam Nusantara.
Kenapa? Karena, menurut konsep Lamtara, semua yang berbau Arab harus
ditiadakan. Jadi, tidak pas kalau masih memakai al-Quran. Meskipun hanya
terjemahannya saja. Sebab, terjemahan itu ‘kan secara akademis akan mencantumkan
sumbernya, yaitu al-Quran. Jadi, akan mengurangi keaslian Islam Nusantara.
Terus, para
penggagas harus mulai memikirkan sebutan “Islam” yang dipasangkan dengan
“Nusantara”. Kata “islam” itu pun harus dicarikan bahasa asli Nusantaranya. Ada
yang menyebutnya “selamat,” “slamat”, “selamet” atau “slamet”. Kata-kata ini
pun masih berbau Arab. Seratus persen merupakan derivasi kata “islam”. Jadi,
kata-kata di atas tidak nusantaranistis. Kalau Islam Nusantara disebut “Selamat
Nusantara”, masih belum murni betul kenusantaraannya karena kata “selamat” itu
berasal dari kata “islam”. Baik. Sementara Anda memikirkan ganti kata “islam”
di dalam sebutan Islam Nusantara, kita lanjutkan ke pembahasan aspek lain. Saya
lihat sosialisasi Lamtara antara lain dilakukan dengan mempopulerkan Senam
Islam Nusantara (SIN). Percayalah, cara ini tidak akan efektif. Sulit Anda
menjualnya. Sebab, gerakan senam sudah terlalu banyak macamnya. Para pengikut
senam, biasanya, akan cepat bosan. Lihat saja senam yoga, senam taichi, senam
pocho-pocho, dlsb. Sebentar saja lenyap. Sayang sekali kalau penyebaran konsep
Lamtara mengandalkan gerakan senam. Keluar banyak biaya, hasilnya tidak ada.Sekarang
kita bicarakan soal rumah ibadah. Allah dan Rasul-Nya menyebut rumah ibadah
Islam yang diturunkan kepada Rasulullah Muhamamd SAW sebagai “masjid”. Ini juga
harus diganti. Harus dicarikan kata asli Nusantara untuk “masjid”. Misalnya
saja ada kata asli Nusantara untuk menggambarkan ruangan luas, yaitu “pendopo”
atau “pandopo”. Ada lagi yang asli yaitu “jambo”, yang berarti ruangan lapang
yang beratap. Sayangnya kata “jambo” tidak terdaftar di Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI).
Terus, yang juga
sangat penting adalah memboikot Makkah dan Madinah. Para penggagas dan pengikut
Lamtara harus mulai memikirkan agar Anda tidak usah lagi pergi ke Makkah dan
Madinah untuk melaksanakan ibadah haji. Sebab, kalau masih pergi ke sana, mau
tak mau Anda akan menggunakan bahasa Arab, melihat tulisan Arab, jumpa orang
Arab, jumpa sorban, jumpa janggut, jumpa unta, dlsb. Pusing Anda nanti! Kemudian soal
nama para pengikut Lamtara. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama,
menggganti nama-nama pengikut yang terlanjur memakai nama-nama Arab menjadi
nama-nama asli Nusantara. Kedua, berhenti menggunakan nama-nama Arab seperti
Muhammad Hanif, Abdul Kadir, Yahya, Said Aqil, Umar, Usman, Musthofa, Kamal
atau Kamil, Faisal Assegaf, dlsb. Tentu banyak nama-nama asli Nusantara yang
bisa dipakai. Ada “Jaka” atau “Joko”, ada “Ken Arok”, “Ken Dedes”, ada
“Gautama”, ada “Gajahmada”, dll. Tapi, banyak juga yang tak perlu diganti.
Contohnya, Ade Armando, Denny Siregar, dsb. Ok. Sekarang, siapa yang mau
menjadi Nabi Nusantara? Mungkin sudah bisa dimulai proses rekrutmennya. Saran
saya, buat saja syarat-syarat untuk menjadi Nabi Nusantara itu antara lain
menguasai bahasa pra-Islam, bahasa Sanskerta, dan bahasa-bahasa Timur. Kok
syaratnya begitu? Karena kemungkinan besar kitab suci Lamtara harus
menghindarkan bahasa Arab seratus persen. Sama sekali tak boleh ada kata-kata
Arab. Harus asli digali dari bahasa-bahasa Nusantara. Nah, dulu, orang
Nusantara itu konon menggunakan bahasa asli (saya tak tahu apa namanya) sebelum
Islam Muhammad SAW masuk ke negeri ini. Dulu, penduduk asli Nusantara menyembah
pohon, busut, batu, dsb. Mereka menganut animisme. Jadi, perlu digali bahasa
yang mereka gunakan waktu itu. Harus kerja keras, tentunya. Tapi, demi Lamtara,
bolehlah berkorban. Supaya Islam Nabi Muhammad SAW bisa Anda reduksi menjadi
Islam yang umatnya berblangkon, sembahyang pakai celana pendek dengan bahasa
kuno atau Sanskerta. Atau, setidaknya sembahyang menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa standar Islam Nusantara.
[swamedium]
*Penulis: Asyari
Usman, wartawan senior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar