Rabu, 04 Juli 2018

Menikah Tanpa Buta Makna


Pernikahan adalah hal yang paling didambakan oleh tiap pasangan, tujuanya tak lain yaitu membentuk kekonsistenan dalam hubungan dan juga mencetak generasi selanjutnya sebagai buah hasil ikrar yang disematkan secara sah. Bahkan Rasul kita Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam menisbatkan bahwa orang yang menikah yaitu orang yang menyempurnakan setengah ibadahnya, artinya baik secara hitungan matematis dunia maupun kaidah keagamaan pernikahan adalah hal yang vital selama perjalan kita di dunia dan akhirat.

Namun patut kita sadari, pernikahan juga bisa menjadi boomerang ketika kita hanya memahami secara kontradiktif dan sempit. Dimana silau kenikmatan pernikahan dipakai sebagai pemuas nafsu hati untuk menempatkan diri secara status sosial tanpa mengetahui bagaimana ilmu tentang pernikahan itu tersebut. Maka tak jarang seseorang mendapatkan jalan buntu ketika pernikahan memasuki masa yang sudah cukup lama.

Lalu, sudahkah kita sepatutnya memantaskan diri kita sebagai seseorang yang ada di pelaminan ?, atau sudahkah anda menyiapkan setengah ibadah lagi dengan baik ?. Pertanyaan ini sering timbul ketika penulis harus memutuskan untuk menikah, alasanya tak lain karena kebanyakan dari kita lebih menjelaskan pernikahan sebagai visi yang mudah dicapai ketika penalaran pernikahan dibentuk dengan mendapatkan pasangan terlebih dahulu. Sehingga kita melupakan bahwa tugas pokok kita yaitu taat kepada Allah Subhanahu wata'ala dan Rasulnya, kelalaian dalam memandang konsep pernikahan tak lain karena sedikitnya kita berilmu tentang ketauhidan. Individu yang bertauhid takan risau jika pasangan tak kunjung datang, dia akan terus berdoa dan berikhtiar sesuai syari’at. Skala prioritasnya-pun adalah menancapkan keimanan sekuat mungkin agar tak mudah goyah dengan arus kekafiran dan kakufuran di dunia. 

Tujuan menikah sendiri adalah menghindari diri ini dari perzinahan, dan merupakan solusi paling jitu meredam nafsu birahi yang tertanam dalam tubuh kita. Hal ini telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wata'ala dalam firmannya di surat Al A’raf ayat 189 bahwa “dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Selain itu, dalam surat Al Isra ayat 32 ditegaskan oleh Allah bahwa “dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk’. Kedua ayat ini jika kita ilhami secara hakiki sudah berkorelasi dengan apa yang dikatakan oleh penulis tentang fungsi pernikahan itu tersebut. Akan tetapi jika kita hanya mengkroscek ayat tersebut tanpa pembendaharaan pengetahuan yang luas maka sudah barang tentu kita tak bisa memahami maknawiah perkataan Allah. Mengapa demikian, dalam hadist Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa “Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula”. Lalu disambung dengan perkataan Imam Syafi’i yaitu “barangsiapa yang teka pernah merasakan lelahnya mencari ilmu, maka akan meminum kehinaan kebodohan pada sisa hidupnya”. Artinya disetiap pengantar dari amalan yang kita lakukan haruslah didasari dengan keterang yang pasti dan ilmu yang memaknainya dengan jelas juga. Inipun berlaku pada konsep pernikahan dimana keduanya menjadi satu bagian yang terpisahkan. Oleh karena itu tak bisa kita menganggap bahwa mempercepat pernikahan adalah solusi, sementara ilmu yang ditanam baru seumur jagung, sebaliknya menunda dengan alasan mencari ilmu hingga akhirnya melupakan tujuan utama berilmu itu sendiri tanpa ada uzur yang jelas bukan pula jalan yang terbaik untuk dilalui. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Oleh : Rizal Ahmad

2 komentar:

  1. Semangat sekolah menuju rumah tangga sejahtera=))
    Pak,request bahas politik

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus