Sedang ramai
perbincangan soal Tik Tok di media sosial pekan ini, entah karena aplikasi
tersebut yang menyediakan kualitas bagi penggunanya atau entah terbius dalam
kebosanan sehingga menjadi alternatif pekerjaan. Tetapi pastinya, ada bagian
lain yang harus dikaji secara holistik mengapa Tik-Tok ini membooming khususnya
dalam kalang pemuda dan pemudi.
Tik Tok sendiri menurut
trendtek.Replubika.co.id adalah aplikasi video musik dan jejaring sosial asal
Cina, yang dimana Tik Tok menjadikan ponsel pengguna sebagai studio berjalan.
Aplikasi ini menghadirkan special effects yang menarik dan mudah
digunakan sehingga semua orang bisa menciptakan sebuah video yang keren dengan
mudah. Tik Tok memungkinkan pengguna untuk secara cepat dan mudah membuat
video-video pendek yang unik untuk kemudian dibagikan ke teman-teman dan dunia.
Memberdayakan pemikiran-pemikiran yang kreatif sebagai bentuk revolusi konten,
menjadikan aplikasi ini sebagai sebuah wujud tolok ukur baru dalam berkreasi
bagi para online content creators di seluruh dunia, terutama
Indonesia.
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=rCy1oYhIMFI
Melihat penjelasan di atas, kita sudah sepatutnya memberikan sebuah apresiasi bahwa aplikasi tersebut
secara tidak langsung membantu para individu untuk keratif dibidang musik.
Selain itu mereka yang keterbatasan dalam dana untuk bergaya di depan kamera,
mampu mewujudkan keinginannya seperti artis hanya lewat aplikasi Tik Tok.
Namun dibalik kemudahan yang telah dijelaskan, ada saja hal yang mempengaruhi individu
untuk merasa bahwa aplikasi tersebut adalah virus kebutuhan bagi manusia. Terlebih untuk orang
Indonesia yang dimana secara subjektif penulis berargument bahwasanya
mentalitas kita terhadap teknologi masih sangat diragukan, hal ini didindikasikan dari ragamnya blunder dalam penggunan media sosial yang dilakukan
oleh masyarakat awam. Seperti menulis status pribadi yang sifatnya sangat
rahasia atau bentuk kemesran yang sering dipamerkan di depan layar gadget anda
semua. Lalu apakah Tik Tok melakukan blunder yang sama ?, dan ternyata memang
sesuai dengan perkiraan bahwa aktualisasi atau pembaharuan atau-pun hitsnya
sebuah aplikasi akan berdampak seperti pisau. Disini secara khusus mereka para
pengguna Tik Tok diibaratkan sebagai pengguna pisau yang disfungsional, dimana
mereka tidak menggunakan pisau tersebut untuk memotong bahan makanan akan
tetapi untuk memotong jarinya sendiri. Jika kita artikan bahwa pengunaan Tik
Tok tidak membuat mereka lebih baik dari pada artis tetapi malah menjadikan generasi mereka hancur dengan
ketidakmampuan untuk merasionalkan dan mengoperasionalkan diri mereka terhadap
teknologi atau sering dibilang oleh anak sekarang itu adalah alay.
Mengkaji secara sosiologis,
fenomena Tik Tok bukan hal baru dalam gejala sosial di masyarakat. Sebelum itu,
banyak aplikasi yang timpang secara budaya sehingga kemampuan kontrol diri
mereka lebih lambat dari pada kemampuan teknologinya. Tetapi penulis melihat
sudut pandang lain perihal boomingnya aplikasi ini, tak lain sebagai saluran
eksistensi diri atau komunikasi terhadap khalayak umum bahawa mereka bisa
seperti artis dengan bergaya, berdansa, dan bernyanyi. Rodgers & Thompson
dalam karyanya yaitu cara mempelajarai eksistensi memaparkan bahawa akar atau dasar eksistensi
sendiri bermula pada pandangan bahwa manusia selalu hidup dalam bahaya yang
tidak pernah lepas dari kecemasan, ketakutan, dan fakta akan kematian.
Kondisi-kondisi itulah yang mendorong manusia merealisasikan
kemungkian-kemungkinan yang ada dalam rangka mencapai kehidupan yang
bermakna. Maka jika kita sadari bahwa apa yang telah dilakukan para pengguna Tik
Tok adalah sarana memaknai kebosanan akibat tekanan sosial. Mereka membentuk
pemikiran untuk menghalau kecemasan mereka dengan cara mengkontruksi diri ke
dalam sebuah zona dimana individu dapat diakui walaupun hal tersebut
oversimpilifikasi.
Pandangan yang tak
terbuka lebar akibat dari aplikasi tersebut jika dibiarkan maka akan menjadi
penyimpangan sosial yang diwajarkan oleh sebagian masyarakat. Anggap saja-lah
mereka bersenang-senang ditengah kepenatan sekolah atau-pun pekerjaan, bisa
juga ini merupakan trend masa kini yang nanti juga ada masa uzurnya merupakan
sebuah kalimat yang dimaksud penulis sebagai penyimpangan sosial yang
diwajarkan. Sehingga pendapat-pendapat yang serupa dengan kalimat tersebut
menjamur dan mereplika penafsiranya ke tiap individu. Akibatnya tak jarang
ketika kita menasehati yang terjadi malah sebuah pemherontakan sekelompok
generasi. Lucunya, kepekaan para vendor dalam memanfaatkan kesempatan bisnis
membuat aplikasi ini tak main-main pemasaranya, dengan embel-embel kesenangan
dan didukung dengan kemudahan akses maka hal ini melengkapi hentakan pada
generasi muda bahwa kita dalam darurat pejajahan aplikasi perusak mental.