Minggu, 22 Juli 2018

Catatan Asyari Usman: Islam Nusantara Perlu Nabi Nusantara


Redaksi – Sabtu, 29 Syawwal 1439 H / 14 Juli 2018 09:30 WIB

Eramuslim.com – Saya sarankan kepada para penggagas dan pendukung konsep Islam Nusantara (Lamtara) supaya tidak serba tanggung kalau mau membuat “agama baru”. Jangan sebatas anti-Arab, anti-janggut, anti-jubah, anti-sorban, anti-istilah (bahasa) Arab, dlsb. Buatlah Islam Nusantara yang “kaffah”. Yang sempurna. Sama sekali tidak ada unsur Arab-nya.Harus betul-betul lepas dari kearaban. Barulah bisa disebut Islam Nusantara atau Lamtara. Termasuk jangan pakai Nabi Muhammad SAW. Sebab, Baginda yang dielu-elukan oleh kaum muslimin ini dan juga dimuliakan oleh Allah SWT itu, adalah orang Arab. Beliau berbahasa Arab. Berjubah dan bersorban. Jadi, kalau mau menciptakan “agama baru”, jangan tanggung-tanggung. Anda perlu sosok “nabi” sendiri, kitab sendiri, tata cara ibadah sendiri, semua sendiri. Supaya asli betul sebagai Islam Nusantara. Jangan ikut Nabi Muhammad lagi karena begitu disebut “Nabi Muhammad”, pasti orang akan ingat dengan “Islam” saja. Nabi Muhammad tidak diutus untuk menyampaikan konsep “Islam Nusantara”. Mengapa? Karena sejak awal kenabian beliau, Muhammad hanya menggunakan kata “islam” untuk sebutan agama yang diridhoi Allah. Sekali lagi, Baginda diutus untuk “Islam” bukan untuk “Islam Nusantara”.

Dengan demikian, mutlak Anda perlu memunculkan Nabi Nusantara. Dan Anda perlu cepat mendeklarasikan Nabi Nusantara agar bisa segera disosialisasikan. Kemudian sang Nabi Nusantara itu haruslah mampu membuat “kitab suci Lamtara”. Sebab, kalau masih menggunakan al-Quran sebagai pedoman, maka menjadi batallah kenusantaraan Islam Nusantara yang Anda inginkan. Kalau para pengikut Lamtara masih bernabikan Muhammad SAW, sangatlah aneh. Berarti nanti “terpaksa” mengikuti arahan orang Arab. Bukankah Nabi Muhammad ada meninggalkan hadits? Nah, hadits-hadits dari Baginda itu diriwayatkan oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab. Kemudian, buku-buku tentang hadits banyak pula ditulis oleh orang Arab. Kitab-kitab karangan para ulama besar, semua dalam bahasa Arab. Begitu juga kitab suci Islam, al-Quran, juga tak cocok untuk kenusantaraan Islam Nusantara. Kenapa? Karena, menurut konsep Lamtara, semua yang berbau Arab harus ditiadakan. Jadi, tidak pas kalau masih memakai al-Quran. Meskipun hanya terjemahannya saja. Sebab, terjemahan itu ‘kan secara akademis akan mencantumkan sumbernya, yaitu al-Quran. Jadi, akan mengurangi keaslian Islam Nusantara.

Terus, para penggagas harus mulai memikirkan sebutan “Islam” yang dipasangkan dengan “Nusantara”. Kata “islam” itu pun harus dicarikan bahasa asli Nusantaranya. Ada yang menyebutnya “selamat,” “slamat”, “selamet” atau “slamet”. Kata-kata ini pun masih berbau Arab. Seratus persen merupakan derivasi kata “islam”. Jadi, kata-kata di atas tidak nusantaranistis. Kalau Islam Nusantara disebut “Selamat Nusantara”, masih belum murni betul kenusantaraannya karena kata “selamat” itu berasal dari kata “islam”. Baik. Sementara Anda memikirkan ganti kata “islam” di dalam sebutan Islam Nusantara, kita lanjutkan ke pembahasan aspek lain. Saya lihat sosialisasi Lamtara antara lain dilakukan dengan mempopulerkan Senam Islam Nusantara (SIN). Percayalah, cara ini tidak akan efektif. Sulit Anda menjualnya. Sebab, gerakan senam sudah terlalu banyak macamnya. Para pengikut senam, biasanya, akan cepat bosan. Lihat saja senam yoga, senam taichi, senam pocho-pocho, dlsb. Sebentar saja lenyap. Sayang sekali kalau penyebaran konsep Lamtara mengandalkan gerakan senam. Keluar banyak biaya, hasilnya tidak ada.Sekarang kita bicarakan soal rumah ibadah. Allah dan Rasul-Nya menyebut rumah ibadah Islam yang diturunkan kepada Rasulullah Muhamamd SAW sebagai “masjid”. Ini juga harus diganti. Harus dicarikan kata asli Nusantara untuk “masjid”. Misalnya saja ada kata asli Nusantara untuk menggambarkan ruangan luas, yaitu “pendopo” atau “pandopo”. Ada lagi yang asli yaitu “jambo”, yang berarti ruangan lapang yang beratap. Sayangnya kata “jambo” tidak terdaftar di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Terus, yang juga sangat penting adalah memboikot Makkah dan Madinah. Para penggagas dan pengikut Lamtara harus mulai memikirkan agar Anda tidak usah lagi pergi ke Makkah dan Madinah untuk melaksanakan ibadah haji. Sebab, kalau masih pergi ke sana, mau tak mau Anda akan menggunakan bahasa Arab, melihat tulisan Arab, jumpa orang Arab, jumpa sorban, jumpa janggut, jumpa unta, dlsb. Pusing Anda nanti! Kemudian soal nama para pengikut Lamtara. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menggganti nama-nama pengikut yang terlanjur memakai nama-nama Arab menjadi nama-nama asli Nusantara. Kedua, berhenti menggunakan nama-nama Arab seperti Muhammad Hanif, Abdul Kadir, Yahya, Said Aqil, Umar, Usman, Musthofa, Kamal atau Kamil, Faisal Assegaf, dlsb. Tentu banyak nama-nama asli Nusantara yang bisa dipakai. Ada “Jaka” atau “Joko”, ada “Ken Arok”, “Ken Dedes”, ada “Gautama”, ada “Gajahmada”, dll. Tapi, banyak juga yang tak perlu diganti. Contohnya, Ade Armando, Denny Siregar, dsb. Ok. Sekarang, siapa yang mau menjadi Nabi Nusantara? Mungkin sudah bisa dimulai proses rekrutmennya. Saran saya, buat saja syarat-syarat untuk menjadi Nabi Nusantara itu antara lain menguasai bahasa pra-Islam, bahasa Sanskerta, dan bahasa-bahasa Timur. Kok syaratnya begitu? Karena kemungkinan besar kitab suci Lamtara harus menghindarkan bahasa Arab seratus persen. Sama sekali tak boleh ada kata-kata Arab. Harus asli digali dari bahasa-bahasa Nusantara. Nah, dulu, orang Nusantara itu konon menggunakan bahasa asli (saya tak tahu apa namanya) sebelum Islam Muhammad SAW masuk ke negeri ini. Dulu, penduduk asli Nusantara menyembah pohon, busut, batu, dsb. Mereka menganut animisme. Jadi, perlu digali bahasa yang mereka gunakan waktu itu. Harus kerja keras, tentunya. Tapi, demi Lamtara, bolehlah berkorban. Supaya Islam Nabi Muhammad SAW bisa Anda reduksi menjadi Islam yang umatnya berblangkon, sembahyang pakai celana pendek dengan bahasa kuno atau Sanskerta. Atau, setidaknya sembahyang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa standar Islam Nusantara. 

[swamedium]

*Penulis: Asyari Usman, wartawan senior

Sabtu, 07 Juli 2018

“Nakal Boleh, Goblok Jangan” ; Ungkapan Di Era Milenia


Sungguh dengan berjalanya sang waktu, maka banyak hal yang berubah. Mulai dari kebutuhan primer hingga yang sekunder menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Maka disetiap perubahan pastilah ada watak yang menyimpang dari harapan masyarakat, tak sesuai dengan kaidah yang seharusnya, atau bahkan merusak tatanan sosial yang menjadi pedoman semua orang. Ragam konsekuensi dari sebuah perubahan memang harus disikapi dengan bijak, kita tidak bisa menutup diri seperti orang-orang konvensional. Karena sudah menjadi qodrat illahi bahwasanya manusia adalah mahluk yang terus bergenerasi dan memerlukan perkembangan. Hal ini didasari oleh kebutuhan untuk  pemenuhan hidup, lalu mempermudah penggunaan kebutuhan sehari-hari. Sebagai contoh, saat uang emas sulit untuk dimodifikasi, maka seorang Yahudi mengganti sistem menjadi lebaran kertas supaya aksesbillitas perekonomian mudah untuk diamankan dan diubah kembali. Tak ayal, masyarakat berbondong-bondong menukarkan kepingan emas dengan lembaran kertas sebagai pengganti nilai tukar tanpa berfikir panjang, adapun terjadi ragam pergolakan solusi tetap menjalakan ketetapan perubahan harus dilaksanakan karena pemenang memenangkan game-nya. 

Walaupun sudah berubah, kesempatan seseorang untuk melakukan penyimpangan diri karena perubahan tersebut sangatlah terbuka lebar. Mengapa demikian ?, karena sistem perubahan boleh jadi tidak terbentuk dengan obat penawarnya. Seperti halnya media sosia, di samping kebutuhannya yang bermanfaat bagi masyarakat luas, namun untuk beberapa sesi keadaannya seakan menjadi ajang penyimpangan terbesar bagi ummat manusia hari ini. Sebabnya tak lain adalah kemudahan aksesbillitas pengguna, kecepatan fasilitas yang diberdayakan, lalu terjangkaunya situasi untuk berbuat hal-hal berbau negatif.

 Membentuk iklim yang harus diwajarkan oleh masyarakat, karena ketidaktahuan atau pemobodohan. Dasar pemikirannya bisa kita tarik dari kegamangan saat menghadapi situasi sulit untuk berkomunikasi secara langsung dijarak yang jauh, lalu terbantu dengan sebuah media canggih, ketidaksiapan menggunakan media tersebut secara mental, kesempatan membenturkan dengan konten yang nyeleneh membuat keadaan ini adalah sebuah inovasi, dan yang terakhir adalah ketidakmampuan tiap individu menampung ragamnya konten yang masuk ke dalam otak.  Akibatnya adalah penyisipan video atau gambar yang membuat semua orang merasa ini adalah bentuk “refreshing” dikala penat bukan lagi berbicara soal tidak tahu, tetapi soal kebodahan masal menganggap kasus itu adalah budaya baru. 

Mungkin terbesitnya ucapan “lo nakal boleh, tapi goblok jangan” adalah representatif dari buah-buah pembodohan sekelompok pihak agar kita tergelimang dalam jiwa dan ahlak yang terpisah dikala sedang hancurnya pendidikan karakter yang direkontruksi. Sehingga muncul generasi asa adalah lara yang tak kunjung mendamba , dan memang kita tak bisa bandingkan perubahan seperti ini dengan analogi ( contoh ) yang diungkapkan oleh penulis di paragraf pertama. Hanya dalam skema tak terberdalil jelas disini ada hegemoni dan ragam bentuk gejala sosial yang sudah tertebak apa visi dan misi mereka, kemudian tak segan cara ini membentuk kita ( termasuk penulis ) terjebak dalam lingkaran pemikiran yang terkotak-kotak antara haq dan bathil. Olehnya perlu diakui dalam permainan ini sebuah ungkapan yang seperti telah disampaikan adalah implementasi dari setiap langkah yang beresiko kepada diri kita agar berhati-hati menjadi manusia “maya”, tidak halnya dengan topik yang dibicarakan pekan-pekan sekarang, untuk kedepanpun tetap beresiko bilamana anda atau penulis menanggapi fenomena sama seperti cara fikir mainstrem. Wallahu a’lam bish-shawabi

Oleh : Rizal Ahmad

Rabu, 04 Juli 2018

Menikah Tanpa Buta Makna


Pernikahan adalah hal yang paling didambakan oleh tiap pasangan, tujuanya tak lain yaitu membentuk kekonsistenan dalam hubungan dan juga mencetak generasi selanjutnya sebagai buah hasil ikrar yang disematkan secara sah. Bahkan Rasul kita Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam menisbatkan bahwa orang yang menikah yaitu orang yang menyempurnakan setengah ibadahnya, artinya baik secara hitungan matematis dunia maupun kaidah keagamaan pernikahan adalah hal yang vital selama perjalan kita di dunia dan akhirat.

Namun patut kita sadari, pernikahan juga bisa menjadi boomerang ketika kita hanya memahami secara kontradiktif dan sempit. Dimana silau kenikmatan pernikahan dipakai sebagai pemuas nafsu hati untuk menempatkan diri secara status sosial tanpa mengetahui bagaimana ilmu tentang pernikahan itu tersebut. Maka tak jarang seseorang mendapatkan jalan buntu ketika pernikahan memasuki masa yang sudah cukup lama.

Lalu, sudahkah kita sepatutnya memantaskan diri kita sebagai seseorang yang ada di pelaminan ?, atau sudahkah anda menyiapkan setengah ibadah lagi dengan baik ?. Pertanyaan ini sering timbul ketika penulis harus memutuskan untuk menikah, alasanya tak lain karena kebanyakan dari kita lebih menjelaskan pernikahan sebagai visi yang mudah dicapai ketika penalaran pernikahan dibentuk dengan mendapatkan pasangan terlebih dahulu. Sehingga kita melupakan bahwa tugas pokok kita yaitu taat kepada Allah Subhanahu wata'ala dan Rasulnya, kelalaian dalam memandang konsep pernikahan tak lain karena sedikitnya kita berilmu tentang ketauhidan. Individu yang bertauhid takan risau jika pasangan tak kunjung datang, dia akan terus berdoa dan berikhtiar sesuai syari’at. Skala prioritasnya-pun adalah menancapkan keimanan sekuat mungkin agar tak mudah goyah dengan arus kekafiran dan kakufuran di dunia. 

Tujuan menikah sendiri adalah menghindari diri ini dari perzinahan, dan merupakan solusi paling jitu meredam nafsu birahi yang tertanam dalam tubuh kita. Hal ini telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wata'ala dalam firmannya di surat Al A’raf ayat 189 bahwa “dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". Selain itu, dalam surat Al Isra ayat 32 ditegaskan oleh Allah bahwa “dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk’. Kedua ayat ini jika kita ilhami secara hakiki sudah berkorelasi dengan apa yang dikatakan oleh penulis tentang fungsi pernikahan itu tersebut. Akan tetapi jika kita hanya mengkroscek ayat tersebut tanpa pembendaharaan pengetahuan yang luas maka sudah barang tentu kita tak bisa memahami maknawiah perkataan Allah. Mengapa demikian, dalam hadist Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa “Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula”. Lalu disambung dengan perkataan Imam Syafi’i yaitu “barangsiapa yang teka pernah merasakan lelahnya mencari ilmu, maka akan meminum kehinaan kebodohan pada sisa hidupnya”. Artinya disetiap pengantar dari amalan yang kita lakukan haruslah didasari dengan keterang yang pasti dan ilmu yang memaknainya dengan jelas juga. Inipun berlaku pada konsep pernikahan dimana keduanya menjadi satu bagian yang terpisahkan. Oleh karena itu tak bisa kita menganggap bahwa mempercepat pernikahan adalah solusi, sementara ilmu yang ditanam baru seumur jagung, sebaliknya menunda dengan alasan mencari ilmu hingga akhirnya melupakan tujuan utama berilmu itu sendiri tanpa ada uzur yang jelas bukan pula jalan yang terbaik untuk dilalui. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Oleh : Rizal Ahmad

Minggu, 01 Juli 2018

Dari Bowo, Trend, Hingga Berhala Baru


Kemunculan seorang anak muda bernama Prabowo atau Bowo sebagai penghuni media sosial telah membukakan mata, bahwa sesungguhnya kita berada diambang keganasan akhir zaman. Seorang bocah berumur 13 tahun tiba-tiba menghentak antar lintas generasi dengan kelakuan yang tak berfaedah bagi generasinya. Dengan gaya sok dewasa, lalu merasa keren dia berlenggak-lenggok dalam sebuah aplikasi yang sejatinya membunuh karakter dan perilaku humanis masyarakat di era global. 

Sayang kontrol sosial yang terbentuk malah menjadi garis darmakasi antara menghukum dan semena-mena, akibatnya adalah pro-kontra bukan lagi berbicara soal penafsiran cara membimbing namun beralih bagaimana cara merusak, mencaci, membunuh si pelaku sampai akhirnya dia mati. Kesalahan membiarkan, mewajarkan, bahkan mencotohkan anak dalam memegang teknologi berdampak pada kesemena-menaan mereka. Maka tak jarang banyak indinvidu atau kelompok yang tercipta untuk merasa benar tanpa diimbangi ilmu yang sudah jelas benar, ini dilihat dari komentar yang tertera pada akun Instagram Bowo dimana hiruk pikuk cacian dan argument tanpa landasan ditumpuk menjadi satu paket kezaliman. Sehingga terciptalah rumus baru jika kita melihat kasus sepert ini yaitu bodoh+dungu adalah kepintaran hakiki menurut mereka.

Memang di sisi lain sanksi sosial dalam mengedalikan degradasi moral lewat bullying agar si pelaku jera harus diberlakukan supaya tak muncul Bowo-Bowo yang lain, namun seperti yang dikatakan oleh penulis dengan memberi kesempatan orang bodoh berargument tak lantas menyelasaikan sebuah kasus. Malah pihak yang tersakiti akan merasa bahwa tindak-tanduknya adalah sesuatu yang tidak salah, lalu tak segan karena konsep kaca mata kudanya mereka menyerang siapapun yang tak sepaham. Hal ini terlihat ketika kritik masuk kepada Prabowo, dimana para pendukungnya secara spontan membentuk  barisan proteksi kebenaran yang salah, kemudian langkah mereka selanjutnya yaitu melancarkan sebuah argumentasi bahwasanya kita adalahsubjek yang tersakiti karena perilaku kontra netizen memborbardir idolanya. Maka para kaum “labil” yang notabenanya belum mampu mengendalikan mentalitasnya langsung tergiring pada situasi harus bersimpati dengan keadaan yang salah. 

Dampak terbesarnya yaitu menuhankan Bowo sebagai kekuatan manunggal para idola, liarnya lagi mereka menciptakan Rasul dan ummatnya sendiri. Jelas ini bukan sekedar degradasi, ini peruntuhan akal kepada suatu kaum dengan cara mengaca-acak konsep ketuhanan. Gilanya hal ini diberlakukan oleh sekumpulan bocah, sehingga jika menilik garis merah maka ada yang salah dengan kemampuan orang tua mengontrol generasinya secara penuh. Disamping itu, kejelasan regulasi pemerintah dalam menetapkan arus informasi seakan diperlente dengan bahasan yang tak begitu penting, oleh karena itu kedua akar masalah ini membentuk kegamangan antar pihak dalam menemukan solusi yang paling tepat tanpa harus mendahulukan bullying kepada si korban.