Rabu, 05 Desember 2018

PERLENTE


Aku adalah seorang guru yang memiliki visi bahwa pendidikan takan bisa dibawa berlari jika harus memakai sistem yang sama dan pola yang sama. Kita (pemerintahan) itu terlalu ambisi dengan sistem, bukan sumberdaya dan kompetensi diri. Alhasil banyak kekecewaan ketika idealisme yang didapat saat belajar dikampus dengan keadaan realita di tempat pendidik tersebut bekerja. Mereka selalu bilang bahwa kita butuh perubahan dalam menginisiasi pendidikan agar lebih maksimal, sama seperti Finlandia kita mampu kok menerapkan sistem yang serupa. Tapi mereka tak berfikir bagaimana karakter masyarakat kita secara sosial dan budaya, jelas kita itu tertinggal 75 tahun dengan Finlandia akan kesadaran berpendidikan. 

Anak muda adalah rekan sejati dalam melakukan sebuah perubahan, hukum itu tak berati di dunia pendidikan. Doktrin kuat para senior telah menjamur dan masuk menjadi struktur sosial di sekolah, lihat posisi-posisi penting dalam pengembangan pendidikan di Sekolah Menengah Atas khususnya yang dipegang oleh pemerintahan. Selalu harus oleh senior yang bertitel Pegawai Negeri Sipil, selalu mereka yang sudah lama bekerja di instansi tersebut, atau selalu anak muda yang siap menjilat para senior agar mendapatkan posisi demi keuntungan pribadi.

Ketika kita perlente sedikit, maka menjadi sasaran empuk para pemakan daging sesama saudaranya. Beringas seperti serigala, liar seperti tak diberi akal dan akhlak, maka tak salah perkataan seorang filsuf “homo homini lupus” jika dimpretasikan dalam dunia pendidikan. Teman dekat yang satu visi bisa berubah hanya karena perintah dan uang, murid yang salah bisa benar jika sudah berkaitan dengan keturunan, hingga jika kita seandainya berjalan dijalan yang menurut mereka salah maka hati-hati pekerjaan bisa menghilang.  Sempat ku tantang rekanku, “mengapa aku tak pernah dikritik ?, takut ?, atau malas berdiskusi karena terlalu lama menjadi babu dan dijejali uang ?” namun tak ada jawaban yang mampu ditafsirkan dari semua permasalahan ini. Semua kembali lagi pada posisi yang harus ditempati dan jangan ada lagi letupan bodoh soal inovasi karena aku tak ingin kehilangan pekerjaanku.

Kaget pasti jika pembaca yang budiman melihat seluruh alur cerita ini, tapi ini adalah fakta yang dialami oleh saya dan ribuan guru honorer di seluruh Indonesia. Gajih yang tidak sebanding dengan tanggung jawab, tak ada reward dan punishmen dari berbagai elemen, sampai matinya seorang pengabdi bangsa di tempat yang tak layak. “Jika anda mau merubah jadilah menteri ubah sana !”, hardikan seperti itu sudah dianggap wajar bagi kaum idealis pendidikan. Bahkan selintingan seperti yang lainya soal guru muda sudah membentuk jiwa yang apatis, namun jangan aneh untuk sebagaian dari mereka yang tak kuat malah memilih untuk menjadi pegawai bank. Mengapa demikian ? setelah ditelusuri jelas mereka memelih profesi non kependidikan karena gajih yang jelas, sistem kerja yang jelas, jam kerja yang jelas, hingga naik dan turunya jenjang karir yang jelas. “Kalo jadi guru mah serba ga jelas kerjaan kita apa dan imbalanya berapa” pungkas seorang sarjana pendidikan lulusan salah satu universitas di Bandung. Tanggapan tersebut setidaknya memperkuat asumsi-asumsi bahwa profesi guru untuk anak muda adalah utopia karena bagi yang sudah mengalami secara empirik bagaimana sistem kerja dan teknis kerja, mereka merasa dirugikan baik materil maupun non materil. Satu-satunya pengharapan adalah mengikuti seleksi CPNS, lalu selesailah masalah kesejahteraan yang dialaminya. Maka pertanyaan dari hipotesa yang dibangun dari pernyataan tersebut adalah bagaimana bagi mereka yang tak lulus tes ?, bagaimana cara pemerintah mengapresiasi mereka yang tak bisa mengikuti tes CPNS karena masalah usia ?, bagaimana sikap sekolah dalam memperjuangkan para honorer ?, dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari satu subjek pernyataan tadi. 

Mungkin tak ada harapan lagi soal pendidikan jika kalian membaca artikel ini, atau ada yang menyanggah dengan idealisme tak berdalil. Oleh karena itu janganlah anda tempatkan diri anda pada prespektif orang-orang yang tidak merasa, resapilah dan berkomentarlah sesuai realita dan fakta seperti kita bermain peran dalam sebuah theater. Pasti  anda akan memahami bahwasanya sebuah fenomenan akan mampu digali dengan emosi dan akal yang sama-sama sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar