Rabu, 17 Oktober 2018

KESALAHANKU


Hari ini seperti biasanya aku masuk ke sekolah bertemu guru-guruku yang baik dan juga menyebalkan. Tak ada harapan selain tatapan pasrah menjalani hari tanpa sebuah kesenangan, karena dipaksa harus berpendidikan supaya menjadi manusia yang seutuhnya.  Aku yang terbiasa bangun tepat jam 04.00 pagi masih saja dianggap pemberontak karena keterlambatanku ke sekolah, alasanya jelas menyamaratakan kedisiplinan agar menjadi manusia yang taat akan norma. Padahal kalau mereka ingin tahu apa saja yang ku kerjakan adalah sesuatu yang penting bagi keluarga tanpa seorang sosok ayah. Namun sekali lagi aku menghela nafas, “ah apa dayaku!”. Stigma dan sistem seolah virus yang gampang menempel pada setiap insan yang mengajar, selalu ada label jelek kalo kita seperti ini maka kita akan seperti itu. Sehingga ini dan itu adalah imbuhan yang membodohi agar kita tunduk pada sistem yang kita sendiri juga tak paham. “aneh bin ajaib” gumamku. 

Mulailah pelajaran pertama semua diwajibkan memperhatikan dengan baik dan seksama sampai kalian bisa bukan tahu, hal ini jadi mengingatkanku pada jargon ospekan yaitu pasal 1; senior selalu benar lalu pasal 2; jika anda salah maka lihat lagi pasal 1. Tak lama aku menyeringai dalam lamunanku, “sebodoh itu yah” ucapku ditengah ketenangan kelas. Selang waktu berlalu tak terasa sudah pukul 09.40 WIB, “ahh sebentar lagi selesai juga kau membacot, sebaiknya aku makan cepat-cepat supaya lamunanku indah lagi” ucapku pada Rida teman sebangku-ku. “hahaha hidup itu nikmat bos, kau terlalu banyak mengeluh” balasnya. Ya ada betulnya apa yang dikatakan Rida, tapi apakah dia tak merasa kalo kita ini sedang di jeruji tanpa besi atau jangan-jangan dia diberi serum hidup flat seperti difilm hollywood sehingga dia tak peka pada kehidupan yang dijalani bersamaku dan teman-teman lainya.

Tiba saat bell masuk berbunyi datanglah si Djendral petangtang-peteteng, “gabut euy ngapain yah ?” tanyanya padaku, “ga tau ah aku ge bingung” sembari ku tatap tajam arah jarum jam,”kan si pak Rizal gak ada, mending kita ngeroko weh aku ada nih sebatang” ajak Djendral sembari menggodaku. Tanpa banyak basa-basi kuterima ajakan dia dan kutegakan badanku untuk sesuatu yang extream, “sungguh hatiku tak cemas karena ini lembaga pendidikan?” tanyaku. Ditengah perjalanan nurani ku kembali bertanya “beng kau tak salah melakukan ini ?”, dan dengan tegas jawabanku adalah “tidak 100 % tidak, karena kau tak tahu persamaan penjara dengan sekolah itu seperti pinang yang dibelah dua”. Sehingga tak salah jika aku cari ketenangan lewat pemberontakan seperti ini, dilain hal aku juga sudah dicapkan sebagai bocah nakal hanya gara-gara selalu terlambat maka tak salah juga jika aku melakukan kenakalan karena kau saja memandang diri ini separuh-separuh.

Pematik ku nyalakan, sebatang roko ini menjadi saksi atas semua kejenuhanku yang kurasa selama 3 tahun mengenyam bangku sekolah. Dinamika hanya ada di buku yang ku baca, sisanya selalu berpola seperti itu-itu saja. Jika salah dimaki, kalo mencoba kritis makin dicaci, baik sedikit disindir, kalo mereka yang salah selalu nyinyir. Rasa takut memang ada, aku takut orang tuaku kecewa atas pemikiranku. Ibuku yang mengharapkan aku menjadi anak yang berbakti malah menjadi dalang onar, dilema memang dilema tapi sudahlah toh semua ini ada alasan yang hanya segelintir orang memahaminya. Selagi aku tak melanggar norma agama yang diajarkan oleh ibuku tak masalah, beliau juga tahu kok aku meroko karena sejak kecil terbiasa akan asap roko almarhum ayahku.

Bak gayung menyambut, ternyata pemberontakanku ketahuan oleh seorang guru bernama kure yang sengaja ingin ke WC karena mencium bau khas tembakau. Djendral yang menjadi langganan guru killer kabur secepat kilat meninggalkanku, bukan bermaksud berkhianat. Disini anda harus paham bahwa konsekuensi itu milik pribadi, tak ada konsep kolektif jika kau ketahuan. Berdosalah untuk kau tanggung sendiri, karena setiap tindakan berawal dari keinginan diri sendiri. Gemuruh suara kamar mandi saat itu menjadi seni bahwa konflik akan selalu ada, bentakan dan suara bantingan benda menjadi instrument terpenting kisah ini. Sigap dengan mata melotot, pipi memerah, komat-kamit makian padaku terngiang di kupingku seperti suara Sukhoi yang memborbardir Timur Tengah. Kemudian masuklah aku ke ruangan yang sering aku kunjungi setiap pagi, kadang juga dengan orang tuaku ketika siang hari tak lain yang kuberi nama ruang Bimbingan Kosleting atau Bimbingan Pengadilan.

Sontak semua mata tertuju padaku layaknya peserta audisi acara pencarian bakat di televisi, ada juri yang siap menghitung kesalahanku, ada komentator yang siap menjustifikasi diriku, ada penonton juga yang siap memandang sinis perlakuanku, tak lupa ada penggosip yang akan menyebarkan berita bias ke seantero sekolah ini. Sampai akhirnya aku dihukum sebagai murid dengan kesalahan kelas berat karena ketahuan 1 kali merokok dan terancam divonis drop out, sebagai pembelaan aku melayangkan banding dengan mengkomparasikan murid yang pelanggaranya lebih parah dariku bahkan sifatnya kriminal, rally panjang penjelasan kedua belah pihak hanya kebuntuan, maka diakhir cerita masalah ini hanya ada dengan sebuah kalimat yang sifatnya pembenaran bahwasanya “IKUTI ATURAN KALAU MASIH BETAH, PERIHAL TEMANMU ITU NANTI IBU CARI”. Sungguh horor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar