Hari ini seperti biasanya aku masuk ke sekolah
bertemu guru-guruku yang baik dan juga menyebalkan. Tak ada harapan selain
tatapan pasrah menjalani hari tanpa sebuah kesenangan, karena dipaksa harus
berpendidikan supaya menjadi manusia yang seutuhnya. Aku yang terbiasa bangun tepat jam 04.00 pagi
masih saja dianggap pemberontak karena keterlambatanku ke sekolah, alasanya
jelas menyamaratakan kedisiplinan agar menjadi manusia yang taat akan norma.
Padahal kalau mereka ingin tahu apa saja yang ku kerjakan adalah sesuatu yang
penting bagi keluarga tanpa seorang sosok ayah. Namun sekali lagi aku menghela
nafas, “ah apa dayaku!”. Stigma dan sistem seolah virus yang gampang menempel
pada setiap insan yang mengajar, selalu ada label jelek kalo kita seperti ini
maka kita akan seperti itu. Sehingga ini dan itu adalah imbuhan yang membodohi
agar kita tunduk pada sistem yang kita sendiri juga tak paham. “aneh bin ajaib”
gumamku.
Mulailah pelajaran pertama semua diwajibkan
memperhatikan dengan baik dan seksama sampai kalian bisa bukan tahu, hal ini
jadi mengingatkanku pada jargon ospekan yaitu pasal 1; senior selalu benar lalu
pasal 2; jika anda salah maka lihat lagi pasal 1. Tak lama aku menyeringai
dalam lamunanku, “sebodoh itu yah” ucapku ditengah ketenangan kelas. Selang
waktu berlalu tak terasa sudah pukul 09.40 WIB, “ahh sebentar lagi selesai juga
kau membacot, sebaiknya aku makan cepat-cepat supaya lamunanku indah lagi”
ucapku pada Rida teman sebangku-ku. “hahaha hidup itu nikmat bos, kau terlalu
banyak mengeluh” balasnya. Ya ada betulnya apa yang dikatakan Rida, tapi apakah
dia tak merasa kalo kita ini sedang di jeruji tanpa besi atau jangan-jangan dia
diberi serum hidup flat seperti difilm hollywood sehingga dia tak peka pada
kehidupan yang dijalani bersamaku dan teman-teman lainya.
Tiba saat bell masuk berbunyi datanglah si Djendral
petangtang-peteteng, “gabut euy ngapain yah ?” tanyanya padaku, “ga tau ah aku
ge bingung” sembari ku tatap tajam arah jarum jam,”kan si pak Rizal gak ada,
mending kita ngeroko weh aku ada nih sebatang” ajak Djendral sembari
menggodaku. Tanpa banyak basa-basi kuterima ajakan dia dan kutegakan badanku
untuk sesuatu yang extream, “sungguh hatiku tak cemas karena ini lembaga
pendidikan?” tanyaku. Ditengah perjalanan nurani ku kembali bertanya “beng kau
tak salah melakukan ini ?”, dan dengan tegas jawabanku adalah “tidak 100 % tidak,
karena kau tak tahu persamaan penjara dengan sekolah itu seperti pinang yang
dibelah dua”. Sehingga tak salah jika aku cari ketenangan lewat pemberontakan
seperti ini, dilain hal aku juga sudah dicapkan sebagai bocah nakal hanya
gara-gara selalu terlambat maka tak salah juga jika aku melakukan kenakalan
karena kau saja memandang diri ini separuh-separuh.
Pematik ku nyalakan, sebatang roko ini menjadi saksi
atas semua kejenuhanku yang kurasa selama 3 tahun mengenyam bangku sekolah.
Dinamika hanya ada di buku yang ku baca, sisanya selalu berpola seperti itu-itu
saja. Jika salah dimaki, kalo mencoba kritis makin dicaci, baik sedikit
disindir, kalo mereka yang salah selalu nyinyir. Rasa takut memang ada, aku
takut orang tuaku kecewa atas pemikiranku. Ibuku yang mengharapkan aku menjadi
anak yang berbakti malah menjadi dalang onar, dilema memang dilema tapi
sudahlah toh semua ini ada alasan yang hanya segelintir orang memahaminya.
Selagi aku tak melanggar norma agama yang diajarkan oleh ibuku tak masalah,
beliau juga tahu kok aku meroko karena sejak kecil terbiasa akan asap roko
almarhum ayahku.
Bak gayung menyambut, ternyata pemberontakanku
ketahuan oleh seorang guru bernama kure yang sengaja ingin ke WC karena mencium
bau khas tembakau. Djendral yang menjadi langganan guru killer kabur secepat
kilat meninggalkanku, bukan bermaksud berkhianat. Disini anda harus paham bahwa
konsekuensi itu milik pribadi, tak ada konsep kolektif jika kau ketahuan.
Berdosalah untuk kau tanggung sendiri, karena setiap tindakan berawal dari
keinginan diri sendiri. Gemuruh suara kamar mandi saat itu menjadi seni bahwa
konflik akan selalu ada, bentakan dan suara bantingan benda menjadi instrument
terpenting kisah ini. Sigap dengan mata melotot, pipi memerah, komat-kamit
makian padaku terngiang di kupingku seperti suara Sukhoi yang memborbardir
Timur Tengah. Kemudian masuklah aku ke ruangan yang sering aku kunjungi setiap
pagi, kadang juga dengan orang tuaku ketika siang hari tak lain yang kuberi
nama ruang Bimbingan Kosleting atau Bimbingan Pengadilan.
Sontak semua mata tertuju padaku layaknya peserta
audisi acara pencarian bakat di televisi, ada juri yang siap menghitung
kesalahanku, ada komentator yang siap menjustifikasi diriku, ada penonton juga
yang siap memandang sinis perlakuanku, tak lupa ada penggosip yang akan
menyebarkan berita bias ke seantero sekolah ini. Sampai akhirnya aku dihukum
sebagai murid dengan kesalahan kelas berat karena ketahuan 1 kali merokok dan
terancam divonis drop out, sebagai pembelaan aku melayangkan banding dengan
mengkomparasikan murid yang pelanggaranya lebih parah dariku bahkan sifatnya
kriminal, rally panjang penjelasan kedua belah pihak hanya kebuntuan, maka
diakhir cerita masalah ini hanya ada dengan sebuah kalimat yang sifatnya
pembenaran bahwasanya “IKUTI ATURAN KALAU MASIH BETAH, PERIHAL TEMANMU ITU
NANTI IBU CARI”. Sungguh horor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar