Senin, 16 Oktober 2017

Lapang, Sawah, Permainan Tradisonal, dan Karakter Anak

Masih ingatkah dengan masa kecil kita saat bermain bersama di lapangan atau di sawah, beragam permainan dilakukan oleh anak kecil saat itu yang mampu mengasah kreativitas anak seperti egrang, momobilan, klereng, atau yang hingga saat ini masih bertahan bermain bola. Permainan tersebut merupakan wadah rekreasi yang sederhana namun bermakna, disela-sela kesibukan pendidikan yang membebani mereka lapangan, sawah, dan permainan tradisonal seringkali menjadi obat rasa bosan mereka.

Tetapi kita tak bisa memungkiri hal-hal yang seperti disebutkan di atas sudah tergerus oleh zaman, era globalisasi telah merubuhkan cara-cara tradisionil dalam melakukan aktifitas rekreasi. Ada-pun pihak yang melestarikan, namun untuk penyebaranya masih sulit diterima karena beragam faktor. Selian itu masuknya paham modernisme dan globalisasi secara tidak sengaja membawa sebuah inovasi baru yang bernama teknologi. Seperti yang kita ketahui berkembangnya zaman maka kebutuhan yang efisien juga semakin dibutuhkan, sehingga diciptakanlah yang namanya handphone, playstation, atau-pun beberapa teknologi lain sebagai upaya pengembangan inovasi dan mengefisiensikan permainan-permainan anak.

Padahal jika ditelusuri secara empiris dari beberapa literatur yang membicarakan tentang permainan tradisional,  maka akan kita temukan manfaat menarik untuk daya kongnisi, psikomotorik, atau-pun afeksi anak. Hal ini diperkuat oleh Misbach (2006:7) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa permainan tradisional dapat menstimulasi berbagai aspek perkembangan anak yang dapat meliputi hal-hal sebagai berikut :

1.    Aspek motorik dengan melatih daya tahan, daya lentur, sensori motorik, motorik kasar, dan motorik halus.
2. Aspek kognitif dengan mengembangkan imaginasi, kreativitas, problem solving, mengembangkan keterampilan dalam pertumbuhan anak.
3.   Nilai untuk kesehatan mental yang baik, yaitu: membantu anak untuk mengkomunikasikan perasaannya secara efektif dengan cara yang alami, mengurangi kecemasan, pengendalian diri, pelatihan konsentrasi.  Nilai problem solving, anak belajar memecahkan§ masalah sehingga kemampuan tersebut bisa ditransfer dalam kehidupan nyata. 
4.    Nilai sosial, anak belajar ketrampilan sosial yang akan berguna untuk bekal dalam kehidupan nyata.

Begitu beragama kebermanfaatan yang diterima oleh masyarakat jika kita tahu asyiknya bermain mainan tradisional. Oleh karena itu masyarakat  dalam menghadapi tantangan permainan modern, nilai kearifan lokal-lah yang harus mampu mengimbangi cara pikir mereka. Karena dari fakta yang ditemukan oleh beberapa peneliti, pola asuh keluarga untuk menanamkan nilai karakter lebih mengedepankan aspek kongnitif lewat teknologi dibanding mengajak mereka keluar rumah untuk berinteraksi  dengan lingkungan sekitar. Tak hanya itu saja, tantangan lain seperti fasillitas yang serba digusur membuat lahan permainan anak-anak menjadi minim atau bahkan tidak ada, hingga akhirnya mereka tak dapat sebuah pilihan yang lain selain bermain teknologi (gadget, laptop, dsb).


Hasil diskusi antara penulis dengan salah  satu alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengatakan bahwa pendidikan karakter yang sedang di gadang-gadang oleh pejabat pendidikan ternyata sulit diterapkan jika harus dengan keadaan formal. Beliau menuturkan bahwa secara tidak langsung karakter itu dibentuk pada dasarnya dari orang tua dan permainan. Maka jangan aneh jika di era millenia sekarang kita menghadapi generasi egois dan tak paham akan kata afektif, karena lingkungan yang membentuk-pun sudah tak sekondusif seperti dahulu. Sementara di sisi lain, kita sebagai pendidik tak bisa secara subjektif menjustifikasi bahwa tekonologi memiliki dampak yang buruk, hanya saja penggunaan yang bijak dan manajemen yang baik akan membentuk kolaborasi luar biasa untuk mendidik karakter anak. Semua tergantung pada bagaimana kita mempresepsikan permainan tradisonal dan permainan berbasis teknologi, karena secara praktis keduanya tak bisa kita lepas dari sendi-sendi kehidupan masyarakat hari ini.

Senin, 02 Oktober 2017

Menggoreng isu “KOMUNISME” lewat pencerdasan diri



Kebangkitan komunisme di era presiden jokowi menjadi topik hangat masyarakat kita hari ini, di tengah beragam masalah sosial yang dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat indonesia isu tersebut mampu memperkeruh penderitaan bangsa ini. Adu serang argumen serta manipulasi informasi membuat jati diri masyarakat dalam keadaan anomi, belum lagi isu ini mampu diakses oleh beragam kalangan dan usia lewat media sosial yang tersedia disetiap Gadget pemiliknya.

Jelas hal ini bukan-lah perkara enteng, munculnya isu HOAX yang mudah dipercaya membentuk kesenjangan antara fakta sejarah dan prespektif suatu kejadian lewat sejarah. Sehingga secara gamblang kita mampu menelusuri isu komunisme lewat media sosial tanpa harus mengetahui keabsahannya.



Tak hanya itu, karakteristik masyarakat kita yang selalu mengedepankian primodialisme dan etnosentrisme menghadirkan perkara yang lebih parah lagi dalam isu komunisme kali ini, hal tersebut dapat kita telisik dari pendapat warga indonesia yang masih memegang erat dendam lama 30 september 1965. Namun yang menjadi pergunjingan dalam menyikapi komunisme tak kala isu tersebut kembali digulirkan secara serentak masyarakat menjadi buas dan liar memandang perkara tanpa ada landasan dasar  yang empiris. Lucunya ketika salah satu Nettizen berhasil menghakimi idelogi komunisme adalah hantu nyata, mereka tak mempunyai info yang valid dan mampu dipertanggung jawabkan dari mana mereka mendapatkan kajian bahaya laten komunis. Lalu setelah itu tak segan-segan mereka me-repost asumsi tersebut sehingga lambat laun seakan-akan argumen atau gambar yang ditampilkan adalah riset yang telah diuji kebenaranya.

Bukan tanpa sebab jika penulis sedikit menyindir antusiasme masyarakat dalam menyikapi komunis, hanya saja perlu pandangan yang jernih dalam memahami isu global yang secara sengaja menggiring prespektif kita. Selain itu pemahaman lewat media sosial soal komunisme perlu kita kaji kembali dengan membaca dari beragam sumber dan kita uji kembali hal tersebut lewat riset kecil, sehingga masyarakat menjadi cerdas dalam memahami kebenaran suatu isu yang sedang viral dibicarakan.

Selanjutnya harapan penulis kepada masyarakat yang sudah menonton penghiatanan G30SPKI lewat media sosial, jangan sampai kita menjadi warga internet yang terburu-buru dalam menggulung isu, menggoreng isu, hingga memakan isu. Kebencian tentang komunisme harus kita lanjutkan secara ideologi tetapi penyikapan yang baik serta informasi yang valid dan dapat diuji keabsahannya haruslah jadi budaya yang didifusi, sehingga ketika banyaknya pro dan kontrak dalam memahami sebuah problematika kita sudah yakin bahwa sebuah kebenaran akan terungkap jika rasa sabar dan mau mengkaji menjadi pilihan pertama dibanding mempercayai media sosial yang sedang viral.