Jikalau kita memahami makna media sosial adalah sarana
merekatkan ukuwah islamiah, mungkin bisa jadi kita dapat bersatu dari ujung
sabang hingga merauke. Jikalau kita memahami sesungguhnya media sosial adalah
alat yang kuat guna menciptakan hegemoni kebaikan, maka tak mungkin kita bisa
melupakan saudara kita yang diviralkan akibat penderitaan. Karena sesungguhnya
otak manusia yang kecil memiliki fungsi seluas dunia, bayangkan saja ketika
zaman dahulu, kita ingin menatap wajah sang gadis yang jauh di seberang sana
haruslah menggunakan imajinasi. Tapi untuk saat ini dengan sekejap segala bentuk
emosi yang tertuang dalam foto mampu kita akses.
Berucap-lah mulut dan hati, “nikmat tuhan mana lagi
yang kau dustakan” (Al-Qur’an; SuratAr-Rahman).
Ya, sungguh seharusnya kita bersyukur kepada Allah SWT, karena berkat
kekuatanya Allah telah menciptakan
sebuah benda yang mampu mendekatkan pada amalan silaturahmi. Tak perlu-lah kita
habis-habis bensin atau kertas untuk mengabari sanak saudara kita yang jauh,
sekarang hanya perlu klik maka sampai-lah semua isi hati kita ini.
Tapi, terkadang hidup di alam kapitalesme tak seperti “charger” handphone yang mengisi aura
positif secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kapan masanya akan rusak,
ada juga sisi negatif dalam penggunaan suatu objek. Contoh kecilnya saja adalah
pisau, pisau difungsikan bagi ibu rumah tangga sebagai alat dalam memasak. Namun
ketika pengontrolan diri si ibu tak stabil maka penggunaan pisau akan berbalik
fungsi menjadi mata rantai pembunuhan massal. Analogi yang penulis ungkap di
atas tadi tak elaknya seperti watak netizen saat ini. Dimana peran media sosial
dalam membangun dan membunuh seseorang sangat tergantung pendendalian diri.
Gambar dikutip dari google
Di sisi lain, amunisi media
sosial dalam merekontruksi peradaban masa kini sangat luar biasa masyallah.
Mempertemukan seorang pasangan atau anak yang hilang, alat pengendalian suhu
politik, dan banyak contoh lagi yang membangun media sosial sebagai sarana
pertolongan umat. Namun, secara tak sadar hal ini malah terkubur di tengah
hingar-bingar eksistensi diri dan akhirnya malah terjebak dalam telaga dusta. Semua
tergantung anda-anda dalam menyikapi permasalahan media sosial dan perangkatnya,
karena mulai dari detik ini jarimu bisa menjadi harimau-mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar