Rabu, 07 Juni 2017

Ngahuma Cikal Sistem Pertanian Sunda

Sebagai salah satu negara penghasil padi terbesar di dunia, sudah barang tentu sektor pertanian merupakan salah satu ladang nafkah bagi warga indonesia dan berlangsung cukup lama, sehingga mau tidak mau sistem pertanian merupakan identitas sejarah bagi masyarakat  kita dalam sektor ekonomi.  

Kemunculan sistem pertanian sesungguhnya tidak terlepas dari pergeseran alam dan budaya yang sangat sering berubah dan menuntut, proses perubahan sistem mata pencaharian berburu dan meramu menjadi sistem bercocok tanam itu merupakan salah satu peristiwa besar dalam proses perkembangan budaya manusia. Para ahli sering menyebutnya “revolusi “ dalam perbadaban manusia.

Hal tersebut juga dialami oleh sistem pertanian di tatar Sunda, “ngahuma”. Sistem berladang dengan sistem pertanian yang mengubah hutan alam menjadi hutan garapan ini merupakan warisan entitas budaya warga jawa barat yang harus kita ingat bahkan dilestarikan. Berladang yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sunda, sulit terpisahkan dari tatar ruang aktifitas masyarakatnya.  Tetapi lambat laun sistem “ngahuma” ini mendapat pergesaran dan kurang efektif dipakai kembali, penyebabnya tak lain pemenuhan kebutuhan hidup yang dituntut efektif dan efesian. Alhasil pola “ngahuma” dianggap kurang fleksibel, lantas juga masuknya sistem pertanian yag dibawa oleh kerajaan mataram pada abad 17 hingga 18 membuat sistem “ngahuma” makin bergeser ke pola pertanian “tumpang sari”. Maka sejak saat itu daerah tatar sunda bagian selatan (bandung, Cianjur, dan Garut) sudah mulai terbiasa meninggalkan pola pertanian “ngahuma” dan beralih pada pertanian di atas tanah milik kehutanan yang sedang direboisasi.


Lalu apakah “ngahuma” hilang begitu saja?, ternyata sistem ini masih menjadi kebudayaaan bagi masyarakat baduy, pantrangan menggunakan pola pertanian sawah yang sudah umum ini tak terlepas dari sejarah yang begitu panjang dan kepatuhan pada adat yang terpatri. Sehingga penggunaan sistem konservatif ini masih terus berlangsung hingga sekarang, namun hal ini bukan tanpa keuntungan. Dari sisi kelestarian, sistem ngahuma ini ramah sekali dengan alam. Melalui proses dan ritual yang dilakukan dalam penggunaan sistem pertanian “ngahuma” terbukti ramah lingkungan. Sebagaimana artikel yang dibuat oleh organisasi gerakan mahasiswa nasional indonesia region sumedang yang meneliti tentang sistem “ngahuma” yang mengungkapkan bahwasanya sistem pertanian ini mampu bersahabat dengan alam. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai “ngahuma” haruslah kembali dibangkitkan di tataran pertanian indonesia sebagai bentuk penyelamatan lingkungan dalam bentuk kearifan lokal.

Sabtu, 03 Juni 2017

Media Sosial Dalam Pandangan Mata Pisau

            Jikalau kita memahami makna media sosial adalah sarana merekatkan ukuwah islamiah, mungkin bisa jadi kita dapat bersatu dari ujung sabang hingga merauke. Jikalau kita memahami sesungguhnya media sosial adalah alat yang kuat guna menciptakan hegemoni kebaikan, maka tak mungkin kita bisa melupakan saudara kita yang diviralkan akibat penderitaan. Karena sesungguhnya otak manusia yang kecil memiliki fungsi seluas dunia, bayangkan saja ketika zaman dahulu, kita ingin menatap wajah sang gadis yang jauh di seberang sana haruslah menggunakan imajinasi. Tapi untuk saat ini dengan sekejap segala bentuk emosi yang tertuang dalam foto mampu kita akses.

            Berucap-lah mulut dan hati, “nikmat tuhan mana lagi yang  kau dustakan” (Al-Qur’an; SuratAr-Rahman). Ya, sungguh seharusnya kita bersyukur kepada Allah SWT, karena berkat kekuatanya Allah  telah menciptakan sebuah benda yang mampu mendekatkan pada amalan silaturahmi. Tak perlu-lah kita habis-habis bensin atau kertas untuk mengabari sanak saudara kita yang jauh, sekarang hanya perlu klik maka sampai-lah semua isi hati kita ini.

            Tapi, terkadang hidup di alam kapitalesme tak seperti “charger” handphone yang mengisi aura positif secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kapan masanya akan rusak, ada juga sisi negatif dalam penggunaan suatu objek. Contoh kecilnya saja adalah pisau, pisau difungsikan bagi ibu rumah tangga sebagai alat dalam memasak. Namun ketika pengontrolan diri si ibu tak stabil maka penggunaan pisau akan berbalik fungsi menjadi mata rantai pembunuhan massal. Analogi yang penulis ungkap di atas tadi tak elaknya seperti watak netizen saat ini. Dimana peran media sosial dalam membangun dan membunuh seseorang sangat tergantung pendendalian diri.

            
Gambar dikutip dari google

Sehingga ketika kita kembali kepada fakta yang tersedia, bahwa penggunaan media sosial di Indonesia hari ini bak buih di lautan. Hampir semua elemen mempunyai akun-akun di dunia maya, hampir semua usia sangat menyukai huru-hara jejaring sosial, dan hampir semua orang terkontrol dalam genggaman media sosial. Seolah seperti ada damarkasi yang membatasi presisi individu dalam memaknai arti dari hidup itu apa. Parahnya lagi, dosis penggunaanya cenderung pada kaidah-kaidah racun dan mematikan orang-orang. Contohnya seperti presepsi yang terbangun atas dasar emosi, jelaga dosa yang diumpat oleh imajinasi, dialektika antara tuhan beserta hambanya, belum lagi kebiasaan kita yang selalu menjadi subordinasi terhadap prinsip-prinsip “hits” di kota-kota urban mebentuk kita menjadi penggunan media “kebohongan” sejati.


Di sisi lain, amunisi media sosial dalam merekontruksi peradaban masa kini sangat luar biasa masyallah. Mempertemukan seorang pasangan atau anak yang hilang, alat pengendalian suhu politik, dan banyak contoh lagi yang membangun media sosial sebagai sarana pertolongan umat. Namun, secara tak sadar hal ini malah terkubur di tengah hingar-bingar eksistensi diri dan akhirnya malah terjebak dalam telaga dusta. Semua tergantung anda-anda dalam menyikapi permasalahan media sosial dan perangkatnya, karena mulai dari detik ini jarimu bisa menjadi harimau-mu.