Sebagai salah satu negara penghasil padi
terbesar di dunia, sudah barang tentu sektor pertanian merupakan salah satu
ladang nafkah bagi warga indonesia dan berlangsung cukup lama, sehingga mau
tidak mau sistem pertanian merupakan identitas sejarah bagi masyarakat kita dalam sektor ekonomi.
Kemunculan sistem pertanian sesungguhnya
tidak terlepas dari pergeseran alam dan budaya yang sangat sering berubah dan
menuntut, proses perubahan sistem mata pencaharian berburu dan meramu menjadi
sistem bercocok tanam itu merupakan salah satu peristiwa besar dalam proses
perkembangan budaya manusia. Para ahli sering menyebutnya “revolusi “ dalam
perbadaban manusia.
Hal tersebut juga dialami oleh sistem
pertanian di tatar Sunda, “ngahuma”. Sistem berladang dengan sistem pertanian
yang mengubah hutan alam menjadi hutan garapan ini merupakan warisan entitas
budaya warga jawa barat yang harus kita ingat bahkan dilestarikan. Berladang
yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sunda, sulit terpisahkan dari
tatar ruang aktifitas masyarakatnya.
Tetapi lambat laun sistem “ngahuma” ini mendapat pergesaran dan kurang
efektif dipakai kembali, penyebabnya tak lain pemenuhan kebutuhan hidup yang
dituntut efektif dan efesian. Alhasil pola “ngahuma” dianggap kurang fleksibel,
lantas juga masuknya sistem pertanian yag dibawa oleh kerajaan mataram pada
abad 17 hingga 18 membuat sistem “ngahuma” makin bergeser ke pola pertanian
“tumpang sari”. Maka sejak saat itu daerah tatar sunda bagian selatan (bandung,
Cianjur, dan Garut) sudah mulai terbiasa meninggalkan pola pertanian “ngahuma”
dan beralih pada pertanian di atas tanah milik kehutanan yang sedang
direboisasi.
Lalu apakah “ngahuma” hilang begitu
saja?, ternyata sistem ini masih menjadi kebudayaaan bagi masyarakat baduy,
pantrangan menggunakan pola pertanian sawah yang sudah umum ini tak terlepas
dari sejarah yang begitu panjang dan kepatuhan pada adat yang terpatri.
Sehingga penggunaan sistem konservatif ini masih terus berlangsung hingga
sekarang, namun hal ini bukan tanpa keuntungan. Dari sisi kelestarian, sistem
ngahuma ini ramah sekali dengan alam. Melalui proses dan ritual yang dilakukan
dalam penggunaan sistem pertanian “ngahuma” terbukti ramah lingkungan.
Sebagaimana artikel yang dibuat oleh organisasi gerakan mahasiswa nasional
indonesia region sumedang yang meneliti tentang sistem “ngahuma” yang
mengungkapkan bahwasanya sistem pertanian ini mampu bersahabat dengan alam.
Oleh karenanya, pengetahuan mengenai “ngahuma” haruslah kembali dibangkitkan di
tataran pertanian indonesia sebagai bentuk penyelamatan lingkungan dalam bentuk
kearifan lokal.