Sumber Gambar : Google
Tak
ada yang salah dalam politik, saling menjegal satu dengan lainya adalah hal
wajar. Karena memang sifat politik itu jahat. Apalagi jika bicara kontek
politik demokrasi, pasti saja ada korban baik itu elite politik bahkan rakyat
yang pelanga-pelongo. Lalu sebagai masyarakat yang miskin pengetahuan, apa yang
harus dilakukan ?, Apa kita harus kuliah jurusan ilmu politik ?, Atau ya
manggut-manggut aja lah supaya aman ?.
Kemudian
di tahun 2018 dan 2019 Indonesia sedang gencar meluncurkan panah politik ke masyarakat
kita, ragam promosi bak marketing produk saling memasarkan kelebihan tiap
kelompoknya masing-masing. Namun tak jarang saling menjatuhkan kelompok lain
dengan cara-cara picik, contohnya yang sedang ngetrend sekarang “politik
bawa-bawa agama” katanya. Waduh makin bingungkan pemirsan ?, jadi kita harus
ngapain nih sebenarnya ? hastag kapital.
Bukan
berati tanpa daya jika tak berpengetahuan politik, tak suka dengan politik itu
boleh tapi kalo buta politik itu yang tak boleh. Apalagi umat Muslim tak tahu
politik, bisa-bisa Aqidah terjual gara-gara pasrah kepada politik. Rasul
mengajarkan kepada kita bahwasanya sebagai seorang Muslim harus taat kepada Khalifah, salah satu bentuk taat yaitu
memilih pemimpin atau Khalifah dengan cara membai’at
seseorang. Berangkat dari apa yang diajarkan Rasul, terselip makna bahwa
kita harus mampu mebaca arti politik dan harus mau berpolitik.
Memang
tak harus semua masyarakat melek dan ikut berpartisipasi politik, hanya jangan
sampai suara politik kita dibungkam, masih ingat kasus di Mesir saat rakyatnya
diam dalam berpolitik, maka dengan sigap lawan mengambil suara kita untuk
dijadikan partisipan palsu mereka agar mendapatkan kemenangan, hingga akhirnya
menang. Dalam seketika Mesir carut marut dan kondisi politik Mesir-pun saat itu
memanas. Contoh lain, di Jakarta beberapa tahun kemarin ketika pak Jokowi dan
Ahok memenangkan Pilgub Jakata. Secara mengejutkan dan diluar ekpektasi Jokowi
malah melanggeng naik ke tahta kepresidenan tahun 2014. Selanjutnya yang terjadi
bukannya membaik malah menjadi ancaman baru bagi masyarakat, majunya Ahok
sebagai pengganti Jokowi membawa isu yang kurang enak. Satu tahun menjelang pemilu
Jakarta, masyarakat malah disuguhkan dengan bahasan peperangan politik berbasis
agama. Walau-pun Ending-nya kemenangan untuk Anies dan Uno, tetapi jejak SARA masih tersebar luas sebagai
jelmaan ekspansi politik atas ketidakpuasan kubu lawan. Hebatnya, kondisi
tersebut menjamur ke tiap Pilkada dan pastinya ke Pilpres 2019 nanti.
Kasus-kasus di atas sebetulnya sudah menjawab, mengapa sebagai rakyat harus mau berpolitik. Buta maka dengan mudah diperalat oleh kelompok kepetingan, tak cerdik maka hancur kedamaian bangsa, maka kita perlu mengkaji lebih dalam bagaimana politik tersebut mengalir. Almod dan verba mengatakan bahwa budaya politik dibagi menjadi tiga bagian, pertama Pertisipan yaitu mereka yang mengerti peranya sebagai warga negara dan memperhatikan perkembangan politik, Kedua Subjek yaitu masyarkat yang paham akan perkembangan poltik namun enggan memakai peranya sebagai warga negara, lalu yang ketiga Paroki tidak terlalu peduli dengan identitasnya sebagai warga negara. Ketiga budaya tersebut memang harus disesuaikan dengan Nilai, simbol, dan kepercayaan terhadap sistem politik bangsa. Tetapi ketiga pilihan ini sebenarnya harus dibangun menjadi lebih spesifik ke arah yang madani, karena syarat membangun peradaban yang baik harus dibarengi dengan budaya politik yang baik pula. Skema sederhananya yaitu masyarakat harus mampu membangun kekuasaan berdasarkan apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki alasan yang kuat mengapa mereka melakukannya, inilah yang disebut pandangan politik rasional. Disisi lain, hal ini membutuhkan sekelompok masyarakat yang mampu memberikan pemaparan dan promosi secara konsisten sehingga menjadi budaya. Sementara jika berbicara siapa gerakan yang mampu membangun pemikiran kita hingga sampai kesana,maka jawabanya pasti banyak dan massive. Khususnya Indonesia semenjak Reformasi, organisasi yang bertujuan membangun masyarakat sipil menjamur diragam sektor. Hanya saja sampai mana progres tersbut berjalan belum mampu merubah cara pandang masyarakat terhadap politik, karena menentang budaya yang sudah terpatri pada masyarakat tak semudah membalikan tangan manusia. Tapi, dengan mendalami dan mempelajari sistem politik yang cocok bagi bangsa kita maka bukan tak mungkin sebuah budaya baru dapat dibentuk. Semua tergantung seberapa kuat kita mempromosikan dengan cerdas budaya baru tersebut, dan yang terpenting seberapa mantap budaya yang bertahan mau-pun yang terbaru mengimplementasikan perubahan secara realistik bagi masyarakat untuk tidak antipati kepada politik. Sehingga perbandingan dapat dilihat oleh masyarkat , lantas menjadi cerminan budaya politik bangsa.